Oleh Maksum (Wartawan Senior)
“ Bulan pertama berseri-seri
Bulan kedua menyesuaikan diri
Bulan ketiga saling iri
Bulan keempat salingmenutup diri
Bulan kelima jalan sendiri-sendiri.”
Ini puisi para aktivis pemuda di Surabaya. Mereka menyindir relasi pasangan walikota-wakil wali kota –mungkin benar mungkin pula salah– hasil Pilkada 2005 yang menurut para aktivis itu hanya kompak beberapa bulan saja pasca Pilkada. Setelah itu kongsi politik (koalisi) pecah. Walikota dan wakil walikota saling jalan sendiri-sendiri.
Gejala ini meskipun naif, terasa merusak etika demokrasi, lumrah terjadi hampir di hampir daerah di tanah air ini. Walikota dan wakil walikota, serta bupati dan wakil bupati maju sendiri-sendiri menjadi calon orang nomor satu di Pilkada berikutnya.
Kompetisi politik yang demokratis memang memberikan kesempatan yang setara terhadap semua orang untuk dipilih dan memilih secara bebas dan otonom. Yang sering diabaikan, meminjam itermezo prokem masa kini “emang gue pikirin”, dalam persamaan untuk memilih dan dipilih terdapat modal sosial yang disebut kompetensi.Ada norma-norma yang disebut patut dan tidak patut.
Memanfaatkan kesempatan yang sama dan bebas yang diberikan sistem politik demokratis memang tak melanggar UU No 22/1999, UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah –pada tahun 2008 direvisi menjadi UU No 10/2008 dan revisi lagi menjadi UU No. 23/2014. Sah-sah saja.
Namun, norma kepantasan, patut dan tidak patut berlaku universal. Ini kembali ke nurani masing-masing. Sebab, patut dan tidak patut dalam banyak hal bersinggungan dengan rasa malu atau tidak kepada orang banyak.
Di banyak daerah, duet kepala daerah –gubernur dan wakil gubernur, walikota dan wakil walikota, serta bupati dan wakil bupati– sudah berantakan ketika rakyatnya belum menikmati buah prestasi kemimpinan politik duet “orang nomor 1 dan orang nomor 2” pemerintah daerah yang mereka janjikan di panggung kampanye pemilukada.
Duet ini tak sampai lima tahun. Mereka harus buyar. Banyak faktor tentang rapuhnya relasi kepala daerah dengan wakil kepala daerah yang mengakibatkan duetnya berumur pendek. Salah satu di antara sekian faktor itu ego bahwa kepala daerah atau wakil kepala daerah lebih berkuasa. Salah satu di antara mereka merasa memiliki kontribusi lebih besar dalam memenangkan pemilukada.
Ada pula karena kepala daerah lebai (berlebihan) menafsirkan posisinya sebagai “orang nomr 1” di pemerintah daerah (pemda). Dalam penafsiran yang lebai itu kekuasaan sebagai “orang nomor 1” harus tunggal dan sentralistik. Buntutnya wakil kepala daerah hanyalah sebagai “pembantu.” Bukan mitra untuk berbagi kuasa (shared power).
Baca Juga: KPU Usulkan Pemungutan Suara Pemilu Dilaksanakan Awal Tahun Supaya Pilkada Serentak Lebih Siap
Ini pun juga diperburuk lantaran, baik sejak UU No 22/1999, UU No 32/2004, maupun UU No 23/2014 tidak cukup tegas dan legalistik mengatur pembangian kerja dan pembagian kekuasaan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Ironisnya, dorongan berkuasa sering mengaburkan rambu-rambu ketidakpatutan dalam keadaban demokrasi universal. Pengalaman di Surabaya dalam Pemilukada 2010, walikota incumbent yang sudah dua periode berkuasa dia enggan purna tugas. Karena konstitusi hanya membolehkan kepala daerah menjabat dua kali periode saja, dibuatlah siasat. Demi bertahan di puncak kekuasaan di Surabaya, si kepala daerah ngotot tetap maju lagi pada pemilukada tanggal 2 Juni 2010.
Tidak sebagai calon orang nomor satu. Dia “ikhlas” turun posisi. Ogah risih ia maju menjadi calon wakil walikota. Tak ada aturan yang dilanggar memang. Hanya nurani yang mungkin berdegub-degub. Ada sesuatu yang agaknya kuranglah patut.
Saudara Tiri Kepatutan
Tetapi politik di bumi Nusantara kadang sering hanya bersaudara tiri dengan adab kepatutan dan etika sosial. Di Kabupaten Kediri beberapa waktu lalu, preseden ketidakpatutan lebih menggugah nurani moral. Bupati incumbent punya dua istri. Dia poligami.
Karena bupati incumbent sudah dua periode menjadi bupati Kediri –konstitusi melarang dia maju lagi– giliran istri tua dan istri mudanya bersaing untuk maju menjadi calon bupati Kediri. Dua istri yang dipoligami itu bersaing untuk menggantikan sang suami.
Di Banyuwangi, setelah Bupati petahana selesai masa jabatan kedua, yang menggantikan sang istri.
Reportase sekilas ini mengonfirmasikan preseden buruk norma kepatutan. Memang tidak ada aturan yang dilanggar. Tidak pula ada pasal dalam UU No 32/2004 atau UU No 23/2014 yang ditabrak. Toh itu semua tetaplah menggelikan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.