BLITAR, KOMPAS.TV – Persoalan harga jagung masih menyelimuti peternak dan industri perunggasan nasional. Ironinya, hal ini telah berlangsung sejak lima tahun terakhir.
Dengan kata lain, kisah Suroto, peternak ayam petelur asal Blitar, Jawa Timur, sejatinya bukan kasus baru dalam industri perunggasan nasional.
Peternak unggas mengeluhkan tingginya harga jagung telah terjadi berulang kali. Jagung yang merupakan bahan baku dominan dalam struktur produksi, apabila mengalami kenaikan harga yang signifikan akan sangat berdampak ke industri pakan dan peternakan, khususnya peternak bermodal cekak.
Merunut ke tahun 2015, akar persoalan terjadi pada ketidakakuratan data produksi. Pada 2016, pemerintah memutuskan untuk mengurangi impor jagung. Kemudian, tahun 2017 mulai menghentikan impor jagung karena yakin produksi jagung di dalam negeri cukup.
Sayangnya, situasi harga di lapangan justru berkebalikan. Bukannya turun, harga justru berulang kali naik meski produksinya diklaim surplus.
Data tak sinkron
Persoalan awal tahun ini bisa jadi contoh asimetri data. Kementerian Pertanian memperkirakan produksi jagung dengan kadar air 15 persen mencapai 11,73 juta ton sepanjang Januari-Mei 2021.
Baca Juga: Buntut Harga Telur Anjlok dan Harga Jagung Tinggi, Peternak Gugat Mentan Rp36 Miliar
Dengan total kebutuhan untuk industri pakan, konsumsi langsung, dan benih mencapai 9,44 juta ton, semestinya ada surplus jagung sebanyak 2,29 juta ton di lima bulan pertama tahun 2021.
Akan tetapi, peternak masih saja mengeluhkan tingginya harga jagung di lapangan tinggi serta melebihi harga acuan sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020, yakni Rp 4.500 per kg dengan kadar air 15 persen.
Selain tidak sinkron dengan data produksi, fluktuasi harga jagung menyulitkan peternak dan pelaku industri pakan untuk merencanakan strategi bisnis.
Di samping itu, data surplus yang semu terbukti berulang mengacaukan industri pakan dan perunggasan nasional. Alih-alih berpacu untuk mengefisienkan produksi, para peternak harus berulang mengorbankan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mencari jagung atau memprotes pemerintah.
Sebenarnya, dalam beberapa kesempatan, tuntutan yang disampaikan peternak sebenarnya sederhana, yakni sediakan jagung dalam jumlah dan harga yang terjangkau.
Mereka menilai data produksi yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan mesti akurat. Keputusan untuk menghentikan impor, misalnya, mesti ditopang produksi yang kokoh di dalam negeri.
Oleh karena itu, rencana pemerintah mengevaluasi dan menyusun ulang metode penghitungan data produksi jagung mesti segera diselesaikan dan diumumkan kepada publik. Perubahan metode penghitungan produksi bisa jadi contoh yang baik. Dengan demikian, peternak bisa lepas dari belenggu problem jagung.
Diketahui, harga jagung memang sempat berangsur turun dari kisaran Rp 6.000-6.300 per kilogram pada pertengahan September menjadi Rp 5.300 per kg pada pekan ketiga September 2021.
Akan tetapi, persolan belum selesasi dengan penurunan harga tersebut. Sebab, risiko serupa masih rentan terjadi, terutama karena ketiadaan data atau neraca jagung yang akurat dan terkini.
Baca Juga: Harga Telur Terus Anjlok, Peternak Ayam di Blitar Bagikan 1,5 Ton Telur Cuma-cuma
Sumber : Kompas TV/Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.