Oleh Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas
I
Setiap kali memasuki bulan Agustus, selalu teringat akan dua tokoh besar negeri ini, dua pahlawan besar kita: Bung Karno dan Bung Hatta.
Mereka adalah Bapak Bangsa. Mereka adalah founding fathers bangsa ini. Mereka adalah proklamator.
Mereka-lah Sang Dwitunggal: dua orang yang menjadi satu kesatuan, yang menggerakan roda revolusi bangsa; yang bersama-sama sedari awal republik ini lahir, mereka selalu berdiri di garda paling depan dalam perjuangan.
Mereka saling mengisi. Mereka berdua adalah tokoh yang membangkitkan dan menyatukan bangsa untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan dengan tetes darah, harta, dan jiwa.
Perjuangan ini terus terpatri di lubuk hati paling dalam.
Sosok Bung Karno sebagai politisi dan pejuang ulung, orator kampiun, mampu menggelorakan semangat bangsa dan menumbuhkan solidaritas bangsa untuk menjadi negara merdeka dan berdaulat. Bung Karno, yang begitu kuat rasa kebangsaannya, amat kuat kharismanya, apalagi untuk rakyat banyak.
Sementara itu, Bung Hatta adalah seorang administrator ulung, disiplin tinggi, tertib, dan diplomat andal yang kemampuannya tidak diragukan lagi di dunia internasional.
Bung Hatta berhasil menumbuhkan pada pribadinya, pilihan, dan komitmen asketisme, yakni asketisme seorang pemimpin.
Dan, kharisma Bung Hatta terpancar dari sosok pribadinya yang berintegritas tinggi serta kompeten. Bung Hatta adalah sosok yang memegang teguh prinsip fortiter in re, suaviter in modo, teguh dalam prinsip, lembut dalam cara.
Oleh karena itu, jika harus menyebut nama Bung Karno, tidak lengkap rasanya jika tidak menyebut nama Bung Hatta di belakangnya, begitu pula sebaliknya.
Menurut Prof Djokosoetono, Bung Karno dan Bung Hatta adalah personal integrating factors, yaitu faktor-faktor kepribadian seseorang yang mempersatukan bangsa.
Suasana kedaerahan pada waktu itu masih demikian kuat, sehingga dengan Dwitunggal Soekarno-Hatta, masyarakat Indonesia merasa mantap. Orang Jawa tidak berkuasa secara mutlak karena ada orang Sumatera.
Maka, perjumpaan Bung Hatta dengan Bung Karno pada tahun 1932, telah menjadi suratan sejarah.
Keduanya seolah-olah dipertautkan oleh alam. Bung Karno dan Bung Hatta justru dipertemukan oleh perbedaan, dalam banyak hal.
Akan tetapi, keduanya saling melengkapi. Ibarat kata, dua sisi sekeping mata uang; loro-loro ing atunggal, dua yang satu.
Mereka berjuang bersama, dan puncaknya adalah ketika membacakan teks proklamasi kemerdekaan bersama.
Bung Hatta yang mendiktekan teks proklamasi, Bung Karno yang menuliskannya. “..lebih baik Bung menuliskannya, aku mendiktekannya” (Mohammad Hatta, 2010). Bung Karno yang membacakan, Bung Hatta yang mendampinginya.
Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu Dwitunggal. Maka lahirlah Dwitunggal.
II
Kata Ignas Kleden (2002), sulit dipungkiri bahwa Soekarno-Hatta adalah perpaduan yang sangat ideal untuk bangsa dan rakyat Indonesia.
Yakni, perpaduan antara kharisma dan rasionalitas. Sekalipun, kombinasi ini sangat sulit untuk kedua tokoh ini sendiri. Bung Karno seorang intelektual yang populis, dan Bung Hatta seorang intelektual yang estetis.
Latar budaya kedua tokoh besar ini pun berbeda.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.