Langkah kompromi akhirnya ditempuh Mahkamah Konstitusi (MK), berkaitan dengan penolakan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Revisi UU KPK memang kontroversial. UU KPK hasil yang disetujui DPR dan Pemerintah, tapi tidak ditandatangani Presiden Joko Widodo.
Beberapa uji formil maupun materiil diajukan ke MK, namun yang dominan adalah uji materiil yang diajukan eks pimpinan KPK Agus Rahardjo dan uji materiil yang diajukan rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
MK yang dikonstruksikan sebagai benteng konstitusi, berada dalam “tekanan”. Pertama, tekanan dari opini publik, khusus 72 guru besar, Profesor yang menamakan Koalisi Guru Besar Antikorupsi Indonesia.
Meski tak punya kewenangan, tekanan kalangan akademisi terasa lebih punya otoritas moral untuk menyuarakan suara moral bangsa.
Para guru besar, Prof Dr Emil Salim, Prof Sulistyowati Irianto, Prof Dr Azyumardi Azra, Prof Frans Magnis Suseno, dan Prof Sigit Riyanto tentunya adalah suara moral yang bersurat pada MK, agar MK mengembalikan UU KPK kepada yang asli.
Pada sisi lain yang tentunya tidak nampak, hakim-hakim MK tentunya berada lingkup hegemoni kekuasaan.
Sebelumnya, DPR dan Pemerintah telah memperpanjang usia hakim konstitusi, 9 hakim MK aman hingga usia pensiun 70 tahun.
Dari dua tekanan itulah, putusan MK bisa dibaca mengambil jalan tengah. Ini putusan kompromistis yang diambil MK.
Terhadap uji formil UU KPK diajukan bekas Ketua KPK Agus Rahardjo, MK menolak. MK berpendapat, pembahasan revisi UU KPK sejalan dengan prinsip konstitusi.
Hanya satu hakim konstitusi, Wahiduddin Adams, yang melakukan dissenting opinion. 8 hakim lainya hanya mengamini saja kehendak Pemerintah dan DPR.
Adams melihat ada pelanggaran konstitusi dalam pembahasan revisi UU. Dalam pendapatnya, Adams menulis, sulit bagi saya untuk menyimpulkan bahwa dalam RUU ini disiapkan oleh Presiden dalam jangka waktu kurang 24 jam.
Adams menyerukan agar pembahasan revisi UU KPK diulang dengan cara yang lebih baik.
Adams berpendapat, dengan tidak adanya tanda tangan Presiden, diartikan Presiden sendiri mengakui bahwa UU KPK tidak sempurna, memliki kekurangan dan menimbulkan kecurigaan.
Namun Adams kalah suara, 1 satu berbanding 8. Kalah di uji formil, MK berkompromi di uji materiill.
1.MK menegaskan, penyadapan, penggeledahan, penyitaan tak perlu izin dewan pengawas (Dewas). Pimpinan KPK perlu lapor 14 hari setelah dilaksanakan.
2.Soal pegawai KPK dan ASN. Peralihan status pegawai KPK ke ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat sebagai ASN dengan alasan apapun. Di luar desain yang ditentukan UU, karena mereka sudah mengabdi untuk KPK.
3.Jika ada kasus yang tak selesai dalam 2 tahun, KPK memiliki diskresi untuk dapat menghentikan atau menerbitkan SP3.
MK mengatakan, KPK tidak boleh mengubah semaunya sendiri. Belakangan muncul rumor, yang belum diklarifikasi, 75 karyawan KPK akan diberhentikan. Info itu belum diklarifikasi.
Mengapa putusan MK menjadi kompromisitis?
Sesuai dengan konstitusi dan UU, MK adalah independen. Putusannya final dan mengikat.
Namun, realitas sosiologis menunjukkan Pemerintah dan DPR telah lebih dahulu menghadiahi MK masa pensiun yang panjang hingga 70 tahun.
Para hakim konstitusi akan tetap aman sebagai hakim MK hingga 2024. Apakah itu mempengaruhi? hanya hakim MK yang bisa menjawabnya.
Faktor kedua, MK dalam tekanan pendapat umum. Pendapat umum direpresentasikan oleh 72 guru besar lintas perguruan tinggi.
Otoritas guru besar adalah suara moral dari akademisi yang belakangan dikritik membisu. Dunia akademi berada di menara gading.
Surat 72 guru besar yang ditujukan kepada Ketua MK, meminta agar MK membatalkan revisi UU KPK, karena revisi UU KPK melemahkan KPK.
Dua faktor sosiologis bisa saja mempengaruhi putusan MK. Tapi apakah benar mempengaruhinya? hanya MK lah yang tahu.
Apapun, dalam sistem negara hukum demokratis, putusan MK harus dihormati, bersifat final, dan mengikat.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.