Satu
Ingat tukang obat, ingat Pak Arjamanggala. Mereka yang pernah tinggal dan hidup di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, terutama di wilayah pinggiran, pada awal tahun 70-an, kiranya pernah mengenal Pak Arjamanggala. Sekurang-kurangnya mendengar namanya.
Pak Arjamangga, seorang tukang obat keliling. Ia keliling dari kampung ke kampung, dari pasar ke pasar. Ia akan mendatangi sebuah pasar sesuai dengan hari pasarannya. Misalnya, ke Pasar Godean, pada hari Pon —menurut kalender Jawa ada lima hari pasaran: Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage.
Orangnya berbadan besar, tinggi, berkumis tebal, mengenakan ikat kepala udeng wulung (warna hitam), berbaju hitam komprang dan celana selutut warna hitam pula. Baju tidak dikancingkan, hingga terlihat kaos warna hitam bergaris-garis putih.
Perlengkapan yang paling diandalkan saat beraksi adalah seekor ular sawa kembang atau sanca kembang yang bahasa latinnya Malayopython Reticulatus. Ular yang panjang tubuhnya bisa mencapai 8,5 meter ini menjadi andalannya untuk menarik orang.
Ada berbagai macam jenis obat dan ramuan yang dijual oleh para pedagang obat ini. Yakni mulai dari obat kulit (panu, kadas, kurap), obat gatal-gatal, obat tumo (kutu) rambut, obat cacing, obang untuk menggemukkan badan sampai obat-obatan untuk orang dewasa seperti obat kuat, obat untuk menaikkan gairah seksual. Juga berbagai macam salep seperti salep untuk menumbuhkan atau melebatkan kumis dan jambang, obat pegal linu, obat keseleo, juga ada yang berupa cairan yang bisa diminum. Semua ada.
Syarat utama seorang tukang jamu —ada yang menyebut tukang obat— adalah kemampuan berbicara. Seorang tukang jamu harus pintar ngomong untuk meyakinkan agar orang mau membeli obat yang dijualnya.
Dua
Hanya orang sakit yang butuh obat. Orang waras tidak. Tetapi, yang berkerumun di sekeliling tukang obat macam-macam, sekurang-kurangnya tiga kelompok: ada yang memang sakit dan cari obat, ada yang ingin tahu atraksi yang akan dipertontonkan si tukang obat, ada juga yang sekadar ingin tahu saja.
Akan tetapi, karena kepandaian tukang obat berbicara, memromosikan obatnya, orang yang semula hanya ingin melihat atraksi atau sekadar ingin tahu, pada akhirnya membeli obat juga. Ini lantaran daya persuasif omongan tukang obat mampu membujuk orang untuk membeli obatnya.
Apakah obat yang dijualnya benar-benar mujarab? Tidak ada yang tahu. Si tukang obat juga tidak tahu. Apa ia menipu kalau ternyata obatnya tidak mujarab? Tidak juga. Ia hanya jualan obat untuk mencari makan. Ia tidak menggunakan kepintarannya berbicara untuk menipu, seperti banyak orang yang menggunakan kepentiran bicaranya untuk menipu, untuk memprovokasi, untuk berbuat jahat, untuk tujuan-tujuan yang tidak semestinya.
Mengapa orang berbuat jahat? Bukankah pada mulanya manusia diciptakan baik adanya, imago Dei, gambaran Allah. Namun, kemudian ada yang menjadi jahat, menjadi serigala bagi sesamanya dengan membuang perintah moral paling dasar, melakukan yang baik dan menghindari yang jahat. Dikuasai angkara murka dalam segala macam bentuk dan manifestasinya.
Kejahatan, kekerasan menguasai dunia. Meminjam istilah yang disampaikan Johann Galtung tentang kekerasan: kekerasan adalah suatu pelanggaran terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar manusia atau terhadap kehidupan, yang menyebabkan tingkat pemenuhannya berada di bawah batas minimal.
Tanpa kecuali, nafsu, angkara murka dan kejahatan, kekerasan masuk ke dalam —yang seharusnya sama sekali tidak mengajarkan kekerasan dan kejahatan— agama. Sejarah telah membuktikan bahwa sudah berkali-kali agama menjadi alat kekerasan dan mempunyai aspek-aspek yang mendorong orang beriman untuk melakukan kekerasan (Karen Armstrong: 2014).
Padahal, semua agama yang ada memiliki inti ajaran yang sama yaitu menciptakan perdamaian antar-sesama manusia. Tidak ada agama yang menginginkan para pengikutnya melakukan tindak kekerasan, kejahatan. Bukankah agama adalah wadah perdamaian baik lahir, batin, maupun sosial. Tetapi, bagaimana memahami arus kekerasannya?
Bila sejenak melihat ke belakang, perjalanan sejarah manusia akan terlihat jelas, bagaimana agama digunakan untuk melakukan kekerasan. Agama dan kekerasan seringkali menjadi satu kesatuan dalam permadani sejarah. Sejumlah agama telah membenarkan kekerasan dalam keadaan tertentu, dan agama lain terjebak dalam prosesnya.
Di dunia kuno, Zoroastrianisme mengubah mitos pertempuran sebelumnya menjadi teologi perjuangan apokaliptik abadi antara yang baik dan yang jahat. Yudaisme kuno membentuk konfederasi dalam kondisi perang. Kekristenan awal pun demikian: Gereja abad pertengahan, perang salib dan Inkwisisi. Dan, ada pula perang suci (John R. Hall, 2001).
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.