Oleh: Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas
Amat menarik, banyak orang —sekurang-kurangnya berseliweran di media sosial— menyandingkan atau bahkan menyamakan “kegegap-gempitaan, kehiruk-pikukan, dan kekerasan serta keganasannya” Pemilu 2020 di AS dengan Pemilu 2019 di Indonesia. Bahkan, klaim menang sebelum penghitungan suara usai pun terjadi di AS. Donald Trump mengklaim telah memenangi pemilu.
Trump mengklaim sudah menang jauh sebelum perolehan electoral college mencapai jumlah yang minimal disyaratkan untuk menang yakni 270. Dan, ia juga menuduh bahwa Demokrat berusaha “mencuri” pemilu, perolehan suaranya. Karena itu, Trump menyerukan agar penghitungan suara dihentikan.
Klaim semacam itu —sebelum penghitungan suara selesai semua— tidak wajar, tidak biasa dilakukan seorang kandidat dalam kontestasi politik di negara demokrasi. Apalagi negara demokrasi maju, seperti AS. Bagi AS, klaim semacam itu bisa dikatakan bukan tradisi mereka. Tradisi yang hidup adalah, yang kalah menelepon yang menang: mengaku kalah dan mengucapkan selamat.
Pada Pemilu 2016, Hillary Clinton yang dikalahkan Donald Trump —meskipun memenangi lebih banyak popular votes, suara rakyat (65.844.610 suara atau 48,2 persen) dibandingkan Trump (62.979.636 suara atau 46,1 persen), tetapi kalah dalam electoral college; Hillary (232) dan Trump (306)— menelepon Trump dan mengakui kekalahannya.
Ketika itu, Hillary Clinton kepada para pendukungnya mengatakan, “Donald Trump akan menjadi presiden kita. Kita menerimanya dengan pikiran terbuka dan memberikan kesempatan untuk memimpin.” Dia melanjutkan, “Konstitusi kami mengabadikan alih kekuasaan secara damai. Dan kami tidak hanya menghormatinya, kami menghargainya.”
Selesai sudah. Tidak ada gugat-gugatan. Tidak ada demo yang disertai bakar-bakaran dan tindakan anarkis seperti sekarang ini yang terjadi di banyak negara bagian (dan seperti yang kerap kali terjadi di negeri kita). Trump menjadi presiden, Hillary Clinton undur diri dari panggung politik. Itulah demokrasi.
Dalam esai Creative Democracy: The Task Before Us (1939), J Dewey menulis, demokrasi adalah cara hidup, pengalaman yang didasarkan pada keyakinan pada sifat manusia, kapasitas manusia untuk membuat penilaian yang cerdas, dan bekerja dengan orang lain. Dalam pandangan Dewey, demokrasi adalah cita-cita moral yang menuntut upaya sehari-hari untuk mencipta.
Bagi Dewey, demokrasi bukanlah konsep kelembagaan yang ada di luar kita. “Tugas demokrasi,” tulisnya, “selamanya adalah penciptaan pengalaman yang lebih bebas dan lebih manusiawi di mana semua berbagi dan semua berkontribusi.” Memang, ada yang menyebut rumusan demokrasi Dewey itu sebagai utopian ideal.
Akan tetapi, barangkali dari perspektif inilah Hillary Clinton dulu melangkah. Walau sakit dan sangat kecewa, tetap mengakui kekalahannya. Kehidupan berjalan. Bahwa yang terjadi kemudian di zaman pemerintahan Trump melenceng dari pengertian demokrasi itu soal lain lagi. Banyak pihak mengatakan bahwa pilar-pilar demokrasi Amerika makin hancur.
Masa kepresidenan Donald Trump, (bahkan sejak kampanye untuk Pemilu 2016) secara terbuka mencemooh lembaga-lembaga inti pemerintahan demokratis: pers independen, peradilan, birokrasi, validitas pemilu, legitimasi kontestasi demokratis, dan sentralitas fakta wacana topolitik. Dengan semboyan “Make America (not the US) Great Again… … where all ‘real’ Americans are white Americans”, menjelaskan sifat rasismenya.
Melihat pemilu AS saat ini dengan sedikit mengenang apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 2019, juga menarik. Suka tidak suka —artinya tidak suka juga boleh dan sah-sah saja— jalan yang diambil Jokowi, mengerem mendadak ketika “mobil” sedang menikung dan menanjak tajam, lalu turun dari mobil kemudian mendekati “mobil” Prabowo, adalah sebuah tindakan yang harus dipuji. Tindakan itu telah menyelamatkan Indonesia dari perpecahan.
Pemilu yang demikian panas, keras, ganas, bahkan cenderung kasar, banjir hoaks, kabar bohong, kabar palsu, caci-maki, fitnah, pelecehan, tindakan anarkis, dan segala bentuk tindakan yang tidak mencerminkan kesantunan manusia Indonesia, bisa dihentikan.
Jokowi mengajak Prabowo Subianto dan partainya, Partai Gerindra untuk bergabung dalam kabinet pemerintahan. Prabowo, yang pasti sepikiran dengan Jokowi —menyelamatkan Indonesia dari perpecahan, polarisasi yang tajam dalam segala tingkat masyarakat dan golongan adalah paling penting— menerima ajakan itu.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.