Oleh : Aris Santoso, pengamat militer
Kekuasaan ibarat candu, kekuasaan selalu dirindukan, terutama bagi insan yang pernah merasakan pada fase hidupnya. Daya tarik kekuasaan menjadikan sebagian orang terbelenggu. Kira-kira begitulah yang kita lihat hari-hari ini pada sosok Gatot Nurmantyo. Saat masih KSAD (kemudian berlanjut sebagai Panglima TNI), Gatot selalu dielu-elukan prajuritnya saat kunjungan lapangan.
Pada fase purnabakti, dia masih mencoba merebut kembali masa-masa kejayaannya dulu. Namun jalan yang dia tempuh ternyata tidak mudah, beda jauh saat masih memimpin pasukan dulu. Masyarakat sipil kurang akrab dengan sistem komando, yang ada adalah aspirasi. Meski yang mengundang rapat umum seorang mantan jenderal, bila tidak sesuai aspirasinya, masyarakat belum tentu datang, terkecuali ada pihak yang mengerahkan.
Begitulah fenomena yang terjadi pada Gatot. Keterlibatan Gatot Nurmantyo dalam organisasi KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), membuat sebagian masyarakat terheran-heran. Seolah-olah tak ada habis-habisnya Gatot dalam bermanuver. Sebenarnya apa yang dicari Gatot?
Bisa jadi Gatot sedang mempersiapkan jalan menuju Pilpres 2024, sehingga segala ruang dicoba, termasuk dengan melibatkan diri dalam KAMI. Bila tujuan Gatot adalah menjadi Capres (calon presiden) pada 2024, mengapa harus ikut terlibat dalam KAMI?
Tampaknya jenderal Gatot kurang sabar, dia ingin cepat-cepat namanya “viral”. Semua orang juga tahu, KAMI adalah komunitas instan, bukan partai politik, sehingga tidak bisa dijadikan “kendaraan” bagi Gatot untuk maju Pilpres 2024. Rasanya tak berlebihan bila dikatakan, Gatot telah melakukan blunder, makna strategis KAMI (bagi Gatot) boleh dibilang tipis-tipis saja.
Memang ada kemungkinan, KAMI merupakan embrio partai, yang nanti bisa menjadi “kendaraan” Gatot . Seandainya sudah menjadi partai pun, rasanya agak berat juga untuk meraih dukungan dari rakyat. Tentu tak semudah itu, mengingat figur-figur KAMI lebih dicitrakan sebagai “barisan sakit hati”, yakni mereka yang tak terangkut dalam kapal besar kekuasaan, pasca bergabungnya Prabowo dalam kabinet.
Ada ikhtiar juga dari KAMI, agar tampak memiliki jejak sejarah, dengan cara melibatkan anak-anak pemimpin bangsa di masa lalu, semisal Rahmawati Soekarno (anak Soekarno, adik Megawati), Meutia Hatta (anak Hatta), dan Titik Soeharto. Namun apakah mereka bisa menjadi pendulang suara, bila KAMI menjadi partai kelak , itu yang masih harus dibuktikan.
Bila KAMI kemudian menjadi partai, rasanya juga sulit untuk menjadi partai besar. KAMI hanyalah salah satu ormas instan yang pernah muncul, sama saja dengan perkumpulan sejenis yang sering muncul di Jakarta, hanya ramai saat deklarasi, yang kemudian hilang dengan sendirinya, dan publik segera melupakannya.
Salah satu ormas yang kemudian sukses sebagai partai, adalah Nasdem Namun tidak semua ormas bisa berkembang baik seperti Nasdem, termasuk KAMI ini. Masing-masing memiliki jejak historis berbeda, mengingat partai yang sempat eksis saja, seperti Hanura, kini nasibnya tidak semoncer cita-citanya.
Mengapa Gatot tidak belajar dari pengalaman Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto (Akmil 1970), yang di masa lalu juga acapkali melakukan manuver politik, namun tidak menghasilkan apa-apa, dan nama Tyasno hilang begitu saja. Pengalaman Tyasno sudah pantas disebut tragedi seorang jenderal, mengapa pula Gatot seolah mengikuti kesia-siaan yang dulu pernah ditempuh Tyasno.
Dalam soal agenda, Gatot tampak lebih jelas ketimbang Tyasno. Terlihat Gatot ada angan-angan untuk maju sebagai capres pada 2024, sementara Tyasno dulu tidak jelas ingin menjadi apa, sungguh membingungkan. Sepertinya saat itu, Tyasno hanya sekadar mencari panggung, agar namanya tetap viral. Popularitas ini, yang kemudian tidak jelas proses lanjutannya, akan dikonversi untuk jabatan apa.
Jelas Gatot masih ada waktu. Sebaiknya lebih bersabar. Untuk Pilpres 2024, figur jenderal yang kemungkinan akan maju (lagi) adalah Prabowo. Segala kemungkinan masih terbuka, bila Prabowo merasa kurang bersemangat, bisa saja tongkat estafet diberikan pada Gatot, seperti yang hampir saja terjadi pada Pilpres 2019.
Masih ada secercah harapan bagi Gatot, utamanya bila dihubungkan dengan karakter masyarakat kita yang masih permisif pada figur militer. Latar belakang Gatot selaku mantan Panglima TNI dan KSAD, bisa diolah menjadi modal sosial yang signifikan. Tim sukses Gatot tentu sudah paham soal ini.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.