Oleh: Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas
Sahabatku, apakah sekarang ini yang dinamakan Zaman Kalabendu? Yakni zaman seperti yang dahulu dimaksudkan oleh Pujangga Rakyat -begitu Bung Karno menyebut Kanjeng Ngabehi Ronggowarsito, yang hidup di abad kesembilan belas?
Di zaman itu, roh-roh jahat gentayangan merasuki siapa saja, tanpa kecuali, bisa rakyat biasa dan juga bisa para pejabat tinggi negara; bisa wong cilik yang tidak dianggap dan bisa juga elite masyarakat yang terhormat dan merasa dirinya terhormat; bisa pengangguran dan juga bisa elite partai politik; bisa umat biasa saja dan bisa juga tokoh agama yang sehari-hari mengkhotbahkan nilai-nilai moral dan etika; bisa orang sipil dan juga aparat keamanan. Siapa saja bisa dirasuki dan dikuasai roh jahat.
Karena itu tidak aneh, sahabatku, di zaman seperti itu, orang yang semula kelihatan baik, tiba-tiba karena kesambet, ketempelan, kesurupan roh jahat bisa menjadi jahat pula. Bahkan, di zaman seperti itu, orang-orang yang memang sebelumnya baik, bisa menjadi jahat karena kutukan roh jahat. Orang yang dahulu saleh atau sekurang-kurangnya kelihatan saleh, dalam zaman seperti itu, akan berobah total tidak lagi saleh atau hanya kelihatan saleh secara badaniah saja.
Dalam Serat Sabdatama, Ronggowarsito secara sepintas menyebut Zaman Kalabendu (dalam bentuk tembang Gambuh). Apa yang menandai munculnya Zaman Kalabendu?
Demikian Ronggowarsito menulis: Ilang budayanipun/ Tanpa bayu weyane ngalumpuk/ Sakciptane wardaya ambebayani/ Ubayane nora payu/ Kari ketaman pakewoh/ Lenyap kebudayaannya. Hilanglah kemuliaan akhlaknya/ Tiada lagi kebaikan, selalu buruk sangka/ Apa yang dipikir serba membahayakan/ Sumpah dan janjinya tiada yang percaya/ Akhirnya menanggung malu sendiri/ Lenyaplah keluhuran budinya.
Lenyapnya keluhuran budi itu bisa terjadi karena antara lain hilangnya etika sosial dalam pergaulan hidup bersama. Dalam dunia pewayangan ada tokoh yang sifat maupun perbuatannya tidak bisa dicontoh. Yakni Sengkuni, yang menjadi patih Kerajaan Astinapura.
Sengkuni yang dalam ejaab Sansekerta disebut Shakuni ( akuni) adalah seorang tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan paman para Korawa dari pihak ibu, Gendari. Sengkuni terkenal sebagai tokoh licik yang selalu menghasut para Kurawa agar memusuhi Pandawa. Antara lain, ia berhasil merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui sebuah permainan dadu.
Tokoh yang dalam pewayangan Sunda dikenal dengan nama Sangkuning ini menjadi idiom populer untuk menggelari setiap laku curang. Dan setiap pelaku kecurangan, kelicikan, kedengkian, provokasi, serta berbagai watak buram jiwa manusia, disebut Sengkuni. Ia senang mencela, membuat orang lain sakit hati, selalu mencap orang lain salah dan hanya dirinya saja yang benar, golek menange dhewe.
Di zaman sekarang, sahabatku, ini banyak “sengkuni-sengkuni” seperti itu, atau sekurang-kurangnya sifat dan kelakuan sengkuni yang mencari sekadar tepuk tangan, popularitas. Berbagai macam panggung digunakan tidak sekadar untuk mencari popularitas dan tepuk tangan itu melainkan juga agenda-agenda, tujuan-tujuan, misi-misi, dan kepentingan-kepentingan terselubung. Tidak aneh kalau tindak dan sikapnya para sengkuni ini melanggar etika umum yang sudah disepakati dalam kehidupan bermasyarakat. Karena, kata Seneca (1 SM-65 M) seorang filsuf zaman Romawi, nafsu tidak mengenal batas.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.