Oleh: Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata
Krisis ekonomi dipahami sebagai adanya shock pada sistem perekonomian di suatu negara yang menyebabkan adanya kontraksi pada instrumen perekonomian di negara tersebut, seperti nilai aset ataupun harga. Apabila krisis yang berkepanjangan dan memiliki dampak jangka panjang, krisis tersebut dikatakan sebagai depresi. Semua negara yang mengalami depresi dapat dikategorikan sebagai krisis ekonomi.
Sementara itu, resesi teknikal merupakan suatu kondisi yang memberikan sinyal bahwa suatu wilayah memasuki gerbang resesi. Terjadinya resesi teknikal ditandai oleh adanya pertumbuhan ekonomi yang negatif selama 2 kuartal berturut-turut.
Meskipun demikian, ketika suatu negara mengalami resesi teknikal, belum tentu negara tersebut mengalami resesi karena mungkin saja kontraksi 2 kuartal berturut-turut merupakan siklus bisnis sementara yang berjangka pendek. Namun, apabila indikator-indikator ekonomi seperti PDB, inflasi dan pengangguran, belum juga pulih setelah 2 periode tersebut, maka dapat dikatakan bahwa negara tersebut sudah masuk dalam kondisi resesi.
Resesi di berbagai negara mempunyai penyebab dan bentuk yang berbeda-beda satu sama lain, seperti misalkan resesi ekonomi yang terjadi di Venezuela sejak tahun 2014, dan krisis Yunani pada tahun 2010 juga mempunyai penyebab dan dampak yang berbeda satu sama lain, di mana krisis di Venezuela disebabkan oleh jatuhnya harga minyak, sementara krisis Yunani cenderung disebabkan oleh membengkaknya utang negara.
Namun, ada juga resesi yang memengaruhi perekonomian global, dan mayoritas negara terkena dampaknya. Resesi global ini terjadi 2 kali dalam kurun waktu 100 tahun terakhir, yaitu pada saat Great Depression pada tahun 1929-1933, dan Global Financial Crisis di tahun 2008. Dalam kedua resesi global tersebut, hampir semua negara maju mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi, penurunan kapasitas produksi, serta peningkatan angka pengangguran secara signifikan.
Resesi global pada umumnya didahului oleh adanya bubble, di mana pada tahun 1929, didahului oleh bubble saham, sementara pada tahun 2008 didahului oleh bubble di pasar derivatif.
Berdasarkan sejarahnya, Indonesia tercatat mengalami 2 kali resesi, yaitu pada saat tahun 1960an dan tahun 1998. Pada periode 1960an, perekonomian Indonesia dianggap resesi seiring dengan kontraksi ekonomi yang terjadi pada tahun 1962-1963 diikuti oleh hyperinflation. Sementara pada tahun 1998, perekonomian Indonesia mengalami resesi sejalan dengan kontraksi ekonomi pada 1Q98 hingga 1Q99.
Adapun penyebab resesi ini didahului oleh krisis keuangan di Thailand yang kemudian berdampak pada pelemahan Rupiah dan mengakibatkan kenaikan utang luar negeri Indonesia. Melompatnya tingkat utang luar negeri perusahaan Indonesia menyebabkan gagal bayar pada sektor perbankan, dan akhirnya berdampak sistemik kepada perekonomian Indonesia saat itu.
Kondisi fundamental perekonomian Indonesia sekarang sangat berbeda dengan kondisi fundamental pada tahun 1998. Krisis yang berawal dari krisis mata uang Thailand Bath juga diperburuk dengan pengelolaan utang luar negeri swasta yang tidak prudent karena sebagian utang luar negeri swasta tidak dilindungi nilai, penggunaan utang jangka pendek untuk pembiayaan usaha jangka panjang, serta utang luar negeri yang dipergunakan untuk pembiayaan usaha yang berorientasi domestik. Sementara jika melihat kondisi fundamental Indonesia pada tahun ini, pengelolaan utang luar negeri swasta cenderung lebih berhati-hati dimana Bank Indonesia juga sudah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar. Pengelolaan yang lebih baik dari utang luar negeri swasta terlihat dari pertumbuhan utang jangka pendek yang cenderung rendah.
Untuk data PDB yang sudah dilakukan penyesuian musiman, maka pada umumnya, resesi teknis didefinisikan sebagai pertumbuhan kuartalan mengalami pertumbuhan yang negatif 2 kuartal berturut-turut. Namun mengingat data PDB Indonesia masih mengandung faktor musiman seperti panen raya, Idul Fitri serta Natal & Tahun Baru. Karena itu, jika menggunakan resesi yang didefinisikan pertumbuhan kuartal yang negatif pada 2 kuartal berturut-turut, semestinya perekonomian Indonesia sudah mengalami resesi sejak kuartal IV tahun 2014. Oleh sebab itu, teknikal resesi pada kasus data Indonesia didefinisikan sebagai pertumbuhan tahunan yang mengalami pertumbuhan negatif pada 2 kuartal berturut-turut.
Berbeda dengan Eropa dan negara maju lainnya, perekonomian Indonesia pada 1Q20 masih dapat tumbuh positif, ditopang oleh tingkat konsumsi yang masih relatif tinggi, sehingga meskipun kontraksi pada 2Q20, namun, resesi teknikal masih dapat dihindari, setidaknya hingga 3Q20. Dengan cukup masifnya rencana stimulus, disertai dengan skema-skema pendanaan dari pemerintah, seharusnya stimulus tersebut dapat membantu pemulihan ekonomi di 3Q20. Namun, hingga saat ini, kasus Covid-19 belum menunjukan adanya penurunan dan penyerapan anggaran stimulus yang rendah, sehingga diperkirakan pemerintah perlu usaha ekstra keras untuk mencegah terjadinya resesi.
Pemerintah perlu memberikan restriksi keras pada daerah yang kasusnya masih tinggi dengan harapan pertumbuhan kasus baru melambat, dan pada gilirannya akan membuka jalan untuk membuka kembali perekonomian. Bersamaan dengan itu, pemerintah perlu mempercepat penyerapan terutama untuk bansos dan UMKM, sehingga masyarakat dapat kembali melakukan aktivitas ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi kuartal III diperkirakan masih terkontraksi meskipun dengan level kontraksi yang menurun yakni di kisaran -3% hingga -1% dari realisasi kinerja perekonomian kuartal II yang tercatat -5,32%. Yang artinya probabilitas, Indonesia mengalami teknikal resesi meningkat dengan eskpektasi pertumbuhan kuartal III yang juga negatif.
Namun demikian, risiko teknikal resesi tersebut dapat dimitigasi pemerintah dengan memprioritaskan penanganan Covid-19 dan dengan peningkatan disiplin protocol kesehatan baik bagi masyarakat dan perusahaan di tempat bekerjanya. Hal itu penting untuk dapat mengurangi potensi pengetatan PSBB seperti yang dilakukan pemerintah sejak April yang lalu.
Penanganan Covid-19 yang baik akan mempengaruhi perilaku konsumsi masyarakat sehingga confidence level konsumen juga meningkat. Di samping itu pula, penyerapan anggaran jaring pengaman sosial juga perlu dilanjutkan dan diperluas bagi masyarakat berpenghasilan menengah yang berpotensi sudah turun kelas masuk menjadi masyarakat rentan dan masyarakat pra sejahtera.
Penyaluran bantuan langsung tunai, bansos dan BLT dana desa juga perlu ditingkatkan mengingat masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah cenderung terkena dampak dari pandemi Covid-19. Selain itu, pemberian diskon listrik juga sangat diperlukan bagi sebagian besar masyarakat menengah ke bawah.
Dengan keseluruhan kebijakan stimulus bagi sisi permintaan tersebut apabila disalurkan secara tepat sasaran, maka diperkirakan akan dapat mendorong peningkatan permintaan dan konsumsi masyarakat yang masih menjadi penggerak perekonomian yang utama. Namun demikian, alokasi anggaran PEN yang ditujukan untuk sisi produksi pun juga perlu dipercepat secara khusus bagi sektor usaha UMKM dan korporasi sedemikian sehingga produktivitas sektor produksi dapat meningkat dan diharapkan dapat menyerap kembali tenaga kerja yang sebelumnya sudah dirumahkan atau di PHK.
Dengan kombinasi penanganan Covid-19 serta percepatan stimulus fiskal bagi sisi permintaan dan produksi, maka diperkirakan dapat memitigasi risiko teknikal resesi pada kuartal III dan pemulihan ekonomi nasional akan dapat signifikan pada kuartal IV.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.