Gunung Tambora meletus April 1815. Letusannya mengguncang dunia. Eropa tanpa musim panas. Laporan Ekspedisi Cincin Api Kompas 2011-2012 menyebutkan, 79.000 jiwa tewas.
Peristiwa besar dunia menghasilkan karya. Itu sejalan dengan pandangan sejarawan Inggris, Arnold Joseph Toynbee, challenge and response. Albert Camus melahirkan novel La Peste (sampar) saat sampar menerjang kota Oran, Aljazair, koloni Perancis waktu itu.
Kini, tahun 2020, bangsa-bangsa dihadapkan pada pandemi Covid-19. Dunia, termasuk Indonesia, sedang dalam perjuangan sejarahnya mengatasi pandemi.
Belum diketahui apa yang terjadi setelah pandemi. Namun, yang pasti, bahasa dan singkatan/akronim baru bermunculan pada masa pandemi Covid-19.
Masyarakat agraris dan komunal tiba-tiba dihadapkan pada kata baru, seperti physical distancing atau social distancing, self isolation, rapid test, swab test, dan telemedicine.
Ada pula singkatan seperti PSBB (pembatasan sosial berskala besar), PDP (pasien dalam pengawasan), ODP (orang dalam pemantauan), OTG (orang tanpa gejala), dan SIKM (surat izin keluar masuk). Ramai pula istilah lockdown, karantina wilayah, KLB (kejadian luar biasa).
Beberapa istilah dicomot dari apa yang terjadi di luar negeri, seperti diksi mutakhir new normal. Namun, ada diksi produksi lokal, seperti jogo tonggo yang dikenalkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo atau kampung tangguh yang disosialisasikan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Tanpa pemahaman yang benar, normal baru bisa dipersepsi secara salah. Publik bisa memahaminya bahwa situasi sudah normal.
Terjadilah euforia. Orang yang sudah terpenjara selama tiga bulan keluar rumah. Akibatnya, transportasi umum berjubel. Padat. Tak mungkin jaga jarak. Mal pun mulai dibuka secara bertahap.
Bahasa baru yang tak sejalan dengan realitas terkesan seperti ”kata-kata magis” yang bisa membuat bangsa kehilangan kesadaran bahwa ancaman Covid-19 masih ada dan nyata!
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.