NAYPYIDAW, KOMPAS.TV - Pemerintahan militer Myanmar mengumumkan perpanjangan mandat untuk memerintah selama enam bulan ke depan, sebagai persiapan untuk melakukan pemilihan umum, Jumat (31/1/2025).
Mereka menyatakan akan mengadakan pemilihan umum tahun ini, saat Myanmar memasuki tahun kelima krisis. Namun, pemerintah tidak mengumumkan tanggal pasti digelarnya pemungutan suara tersebut. Dilansir The Associated Press, perpanjangan status darurat sudah mereka lakukan sebanyak tujuh kali.
Televisi MRTV yang dikelola pemerintah melaporkan, Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional memutuskan dengan suara bulat memutuskan perpanjangan status darurat.
Jenderal senior Min Aung Hlaing, yang merupakan kepala pemerintahan militer, menilai mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk memulihkan stabilitas negara dan menyelenggarakan pemilihan umum.
Berdasarkan Konstitusi 2008 yang dirancang oleh militer, militer dapat memerintah negara tersebut dalam keadaan darurat selama satu tahun.
Kemudian setelah itu, mereka masih diperbolehkan memperpanjang keadaan darurat selama dua kali enam bulan, sebelum menyelenggarakan pemilihan umum.
Baca Juga: Kata Kemlu RI soal 32 WNI yang Kabur dari Myanmar, Ternyata Dipekerjakan sebagai Scammer Online
Keadaan darurat yang sedang berlangsung, memungkinkan militer untuk mengambil alih semua fungsi pemerintahan, serta memberikan kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif kepada Min Aung Hlaing.
Berdasarkan Konstitusi, militer seharusnya menyerahkan fungsi pemerintahan kepada presiden setidaknya enam bulan sebelum pemilihan umum diadakan. Namun pada kenyataannya, hingga saat ini belum diketahui kapan Myanmar akan melakukan pemilihan umum.
Militer awalnya mengumumkan pemilihan umum akan diadakan pada Agustus 2023, tetapi kemudian menundanya dan baru-baru ini mengatakan pemungutan suara akan berlangsung pada 2025.
Militer Myanmar pertama kali mengumumkan status darurat pada 1 Februari 2021, ketika mereka menangkap pemimpin negara itu, Aung San Suu Kyi, dan pejabat-pejabat tinggi dari pemerintahannya.
Pengambilalihan pemerintahan oleh militer pada 1 Februari 2021 membuat Myanmar mengalami kemunduran, setelah sebelumnya berjalan maju dalam demokrasi dan pemerintahan.
Pengambilalihan kekuasaan tersebut memicu gerakan perlawanan bersenjata. Kini milisi etnis minoritas yang kuat dan pasukan pertahanan rakyat yang mendukung oposisi utama Myanmar, menguasai sebagian besar wilayah negara tersebut.
Pemerintahan militer saat ini menghadapi tantangan terbesarnya sejak mengambil alih kekuasaan. Namun, mereka masih dapat menguasai sebagian besar wilayah Myanmar di bagian tengah dan kota-kota besar termasuk ibu kota, Naypyidaw.
Tom Andrews, pelapor khusus Kantor Hak Asasi Manusia PBB, mengatakan empat tahun penindasan, kekerasan, dan ketidakmampuan militer telah membuat Myanmar terpuruk. PBB memperkirakan lebih dari 3,5 juta orang telah mengungsi akibat konflik.
Baca Juga: Viral! Video Eks DPRD Indramayu Minta Dipulangkan Presiden Usai Disekap di Myanmar 2 Tahun
“Pasukan junta telah membantai ribuan warga sipil, mengebom dan membakar desa-desa, dan mengungsikan jutaan orang. Lebih dari 20.000 tahanan politik masih berada di balik jeruji besi. Perekonomian dan layanan publik telah runtuh. Pelaparan dan kelaparan menghantui sebagian besar penduduk,” katanya, seperti dikutip dari The Associated Press.
Rencana pemilihan umum dipandang sebagai upaya untuk melegitimasi kekuasaan militer dengan memberikan hasil yang memastikan para jenderal tetap memegang kendali.
Para kritikus mengatakan pemilihan umum tidak akan berlangsung bebas atau adil karena tidak ada media yang bebas dan sebagian besar pemimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi milik Suu Kyi, telah ditangkap.
Sumber : The Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.