BEIJING, KOMPAS TV – Pertemuan ke-23 Dewan Kepala Pemerintahan Negara Anggota Shanghai Cooperation Organisation (SCO) diadakan pada 15 dan 16 Oktober di Islamabad, Pakistan.
Dalam pertemuan tersebut, Perdana Menteri China, Li Qiang, pada Rabu 16 Oktober 2024, menekankan pentingnya memperdalam dan memperluas kerja sama dalam SCO. Li menegaskan bahwa SCO merupakan platform penting untuk menjaga perdamaian dan stabilitas regional serta mempromosikan pembangunan dan kemakmuran bagi semua negara.
Ia menambahkan bahwa pada KTT Astana Juli lalu, Presiden China Xi Jinping bersama para pemimpin negara anggota SCO mencapai konsensus penting untuk bersama-sama membangun rumah bersama yang berlandaskan solidaritas dan saling percaya, kedamaian dan ketenangan, kemakmuran dan pembangunan, serta keadilan, sebagaimana dilaporkan oleh Xinhua News Agency.
Beberapa negara Barat, menurut China, berupaya merusak kerja sama di antara anggota SCO dengan menstigmatisasi organisasi ini. Misalnya, Bloomberg pada Juli lalu menerbitkan artikel berjudul "China dan Rusia Diam-diam Membangun Saingan NATO".
Secara historis menurut perspektif China, kekuatan Barat menggunakan cara kekerasan untuk melakukan penjajahan dan dominasi global, menempatkan negara-negara yang dijajah di dasar rantai industri, dan menjadikan mereka ketergantungan ekonomi pada penguasa Barat mereka.
Taktik ini menurut terus menjadi alat bagi beberapa negara Barat, seperti AS, untuk mengisap sumber daya negara lain hingga hari ini. Setelah memperoleh kemerdekaan politik, banyak negara di Global South yang berusaha melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi yang mendalam pada Barat, masih terus menderita dari penindasan ekonomi oleh mantan penjajah mereka. Penindasan ini menjadi “belenggu tak terlihat” yang ditempatkan Barat pada pasar yang sedang berkembang.
Bagaimana “belenggu tak terlihat” ini bekerja? Dalam artikel ini, Global Times mengulas pandangan China tentang bagaimana Barat memanfaatkan keunggulannya dalam penetapan aturan, akses pasar, dan kampanye disinformasi untuk menekan ekonomi negara-negara berkembang, guna mempertahankan hegemoni dalam sistem ekonomi global. Global Times adalah salah satu media resmi China.
Baca Juga: China dan Rusia Bersatu untuk Dunia Multipolar yang Adil, Apa Maksudnya?
Manipulasi Aturan
Barat telah lama memegang posisi dominan dalam pembentukan aturan ekonomi dan perdagangan internasional, yang menentukan nasib banyak negara berkembang.
Saat ini, seiring dengan semakin terbukanya kekurangan dari aturan yang ada dalam melindungi kepentingan Barat, di saat globalisasi semakin mendalam dan ekonomi yang sedang berkembang terus bangkit, Barat mencoba menulis ulang aturan permainan di berbagai bidang, untuk lebih membatasi ruang dan peluang pembangunan negara berkembang.
Dalam bidang hak kekayaan intelektual (HAKI), beberapa negara Barat dianggap memanfaatkan keunggulan teknologi dan ekonomi mereka untuk mendorong serangkaian standar perlindungan yang ketat guna mempertahankan monopoli teknologi mereka melalui jalur hukum.
AS, misalnya, mengesahkan “Protecting American Intellectual Property Act of 2022” untuk memperluas cakupan perlindungan HAKI-nya dan meningkatkan sanksi sepihak sebagai alat untuk menghambat perkenalan teknologi dan peningkatan industri di beberapa negara berkembang.
Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa undang-undang ini memberikan sanksi terhadap "orang asing" yang "terlibat dalam pencurian besar-besaran" dari warga AS, dan "untuk tujuan lain." Meskipun undang-undang tersebut tidak secara spesifik menargetkan negara tertentu, pernyataan pers dari Senator Chris Van Hollen, yang mensponsori undang-undang tersebut, dengan jelas menunjukkan bahwa China adalah target utama dari undang-undang tersebut, menurut laporan media.
Sah-sah saja bagi AS untuk melindungi kepentingan sah pemilik hak kekayaan intelektual mereka. Namun, dengan memonopoli kekuasaan untuk menentukan apa yang dianggap sebagai “kepentingan sah,” AS memaksa negara lain untuk mematuhi undang-undang mereka dan memberlakukan yurisdiksi jangka panjang, sehingga berfungsi sebagai cara untuk mempertahankan hegemoni ekonomi globalnya, kata para pakar ekonomi dan hubungan internasional yang diwawancarai oleh Global Times.
Kebijakan hak kekayaan intelektual AS menganut pragmatisme, proteksionisme, dan hegemonisme. Ini bertentangan dengan niat awal dari sistem perlindungan hak kekayaan intelektual internasional, kata mereka.
Baca Juga: AS Bantah Netralitas China pada Konflik Rusia-Ukraina: Mereka Bantu Moskow
Menurut China, AS tidak hanya memaksa mitra dagangnya untuk mengadopsi “standar Amerika,” tetapi juga berusaha mempromosikan standar ini dalam kerangka kerja internasional. Selama Putaran Uruguay, putaran ke-8 negosiasi perdagangan multilateral (MTN) dalam kerangka Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT), AS bekerja sama dengan negara maju lainnya untuk memasukkan isu hak kekayaan intelektual ke dalam GATT, yang menghasilkan Perjanjian WTO tentang Aspek Hak Kekayaan Intelektual Terkait Perdagangan (TRIPS).
TRIPS menggunakan pendekatan “satu aturan untuk semua” dalam standar hak kekayaan intelektual bagi negara-negara di berbagai tingkat perkembangan, mencerminkan internasionalisasi ketentuan Khusus 301 AS, sebuah proses tinjauan tahunan yang dipimpin oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR). Ini memerlukan tinjauan tahunan terhadap praktik perlindungan hak kekayaan intelektual dan akses pasar di negara-negara asing.
Dalam bidang kebijakan industri, beberapa negara Barat juga memberlakukan langkah-langkah eksklusif dan diskriminatif untuk memastikan posisi dominan mereka dalam rantai industri global. Undang-undang seperti “Inflation Reduction Act” dan “CHIPS and Science Act” dianggap sebagai refleksi dari kecenderungan proteksionis kuat AS terhadap industri teknologi tinggi.
Dalam hal tata kelola global, Barat telah memanipulasi organisasi internasional dan lembaga-lembaga khusus untuk menjaga ketertiban ekonomi internasional yang menguntungkan kepentingan mereka.
Pada tahun 2020, Indonesia, produsen nikel utama, memberlakukan larangan ekspor bijih nikel untuk mempromosikan pengembangan industri nikel domestiknya. Sebagai tanggapan, Uni Eropa (UE) mengajukan keluhan terhadap Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan menang dalam putusan panel pada tahun itu.
Pemerintah Indonesia kemudian mengkritik UE karena menggunakan aturan WTO untuk menghambat perkembangannya dan mengajukan banding. Namun, banding Indonesia hingga kini masih tertunda karena kelumpuhan badan banding WTO.
Baca Juga: Xi Jinping Kunjungi Provinsi Dekat Taiwan usai China Gelar Latihan Militer Besar
Meningkatkan Ambang Batas
Sumber : China Daily / Xinhua
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.