GAZA, KOMPAS.TV - Militer Israel mulai menggempur Jalur Gaza, Palestina tepat tanggal 7 Oktober 2023 usai Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mendeklarasikan perang. Israel mengobarkan perang di salah satu daerah terpadat di dunia tersebut usai Hamas menyerang pada 7 Oktober.
Tepat setahun usai dimulainya serangan Israel, Rabu (7/10/2024), serangan udara terus-menerus membuat Jalur Gaza tinggal reruntuhan. Gunungan puing-puing bangunan memenuhi Gaza, banyak di antaranya yang menyimpan jenazah yang belum terdaftar Kementerian Kesehatan Palestina.
Serangan Israel sejak 7 Oktober telah membunuh setidaknya 41.870 manusia di Gaza, 16.765 di antaranya adalah anak-anak. Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza melaporkan jumlah korban jiwa berdasarkan jumlah korban Israel yang dibawa ke fasilitas kesehatan. Sehingga, jumlah korban Israel di Gaza yang sebenarnya kemungkinan jauh lebih besar.
Kendati telah menghasilkan kehancuran meluas, memaksa 90 persen penduduk mengungsi, hingga diseret ke Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida, Israel belum menunjukkan tanda bersedia menghentikan serangan ke Gaza.
"Perang ini hanyalah kehancuran dan penderitaan. Batu pun akan menangis melihat ini. Siapa pun yang melihat Gaza, mereka akan menangis," kata Shifaa Hejjo, seorang penduduk Khan Yunis, selatan Gaza, yang rumahnya dihancurkan bom Israel.
Kalangan pakar menyatakan bahwa rekonstruksi Gaza, jika perang Israel sudah berhenti, bisa memakan waktu berdekade-dekade. Per Januari 2024 lalu, Bank Dunia memperkirakan kerugian akibat kehancuran di Gaza mencapai 18,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp291 triliun.
Baca Juga: Satu Tahun Genosida di Gaza: 11 Pembantaian Massal Warga oleh Israel yang Dicatat Sejarah Dunia
Ratusan ribu penduduk Gaza kemungkinan terpaksa tinggal di tenda-tenda pengungsian selama bertahun-tahun. Kondisi ini diperparah dengan rusaknya sistem sanitasi yang berpeluang memicu penyebaran penyakit menular.
Peneliti asal Amerika Serikat (AS), Corey Scher menyebut kehancuran yang ditimbulkan Israel di Gaza tidak bisa dibandingkan dengan konflik mana pun. Scher menganalisis kondisi Gaza melalui citra satelit bersama koleganya, Jamon Van Den Hoek.
"Saya tidak bisa memikirkan perbandingan apa pun (tentang kehancuran di Gaza) dari segi parahnya kerusakan, baik bagi suatu enklave, sebuah negara, atau sekelompok masyarakat," kata Scher dikutip Associated Press.
Di lain sisi, jika rekonstruksi dimulai, tantangan pertamanya adalah membersihkan gunungan puing di Gaza yang dihasilkan serangan Israel. Banyak kompleks permukiman dan perkantoran di Gaza telah berubah menjadi bukit reruntuhan yang mungkin menyimpan munisi belum meledak.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan perang Israel di Gaza telah menyisakan sekitar 40 juta ton debris dan puing. Diperkirakan butuh waktu 15 tahun dan dana hampir 650 juta dolar AS untuk membersihkannya.
Negara-negara kaya di Teluk Arab telah menawarkan diri untuk membantu biaya rekonstruksi Gaza pasca-perang. Namun, syaratnya, Israel harus angkat kaki dari Gaza, dan negara Palestina berdiri dengan berdaulat.
PM Israel Benjamin Netanyahu telah menegaskan menolak gagasan bahwa pemerintahan di Gaza harus dikelola organisasi Palestina, baik Hamas ataupun Otoritas Palestina. Netanyahu bersikeras Israel mempertahankan pendudukan militer di enklave berpenduduk 2,3 juta jiwa tersebut.
Sikap politik pemerintahan Netanyahu membuat upaya gencatan senjata yang dimediasi sejumlah pihak masih buntu. Bahkan, saat perang Israel di Gaza tepat setahun, militer Israel kembali mengebom tengah Gaza, tepatnya di kompleks Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa dan melukai setidaknya 11 pengungsi.
Sebaliknya, Hamas mengirim serangan roket ke arah Tel Aviv saat peringatan 7 Oktober. Konflik pun berpotensi meluas dengan aksi militer Israel yang kembali mencoba menginvasi selatan Lebanon pada 7 Oktober 2024.
Baca Juga: Serangan Roket Israel ke Lebanon Berlanjut, Para Pengungsi Palestina Ikut Terdampak
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.