PARIS, KOMPAS.TV - CEO Telegram Pavel Durov ditangkap di sebuah bandara Prancis saat baru mendarat dengan pesawat pribadinya.
Pendiri Telegram tersebut ditangkap di bandara Le Bourget di luar kota Paris, Sabtu (24/8/2024) pagi waktu setempat.
Menurut petugas penangkapan miliuner Rusia berusia 39 tahun tersebut berdasarkan surat penangkapan yang berkaitan dengan pelanggaran terkait Telegram.
Baca Juga: Pengakuan Bekas Sandera Israel Noa Argamani, Bukan Hamas yang Melukainya tapi Militer Zionis
Dikutip dari BBC Internasional, Kedutaan Besar Rusia di Prancis telah mengambil langkah sesegera mungkin untuk mengklarifikasi situasi.
Saluran TV Prancis TF1 mengungkapkan Durov tengah bepergian dengan jet pribadinya dan baru pulang dari Azebaijan sebelum kemudian ditangkap.
Dilansir dari South China Morning Post, penyelidikan kepadanya diyakini terfokus pada kurangnya moderator di Telegram.
Polisi menilai situasi ini membuat aktivitas kejahatan terus berlanjut di aplikasi perpesanan tersebut.
Telegram sendiri sangat popular di Rusia, Ukraina, dan bekas negara Uni Soviet.
Aplikasi ini dilarang di Rusia pada 2018, setelah penolakan Durov untuk memberikan data pengguna ke pemerintah.
Tetapi pelarangan tersebut kemudian dicabut pada 2021.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, Telegram menjadi sumber utama konten tanpa saringan, dan terkadang vulgar serta menyesatkan, dari kedua belah pihak yang berperang, dan politik seputar konflik tersebut.
Telegram juga menjadi pilihan utama Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan pejabatnya untuk berkomunikasi.
Kremlin dan Pemerintah Rusia juga menggunakannya untuk menyebarkan berita mereka.
Baca Juga: ISIS Akui Bertanggung Jawab atas Penusukan yang Tewaskan 3 Orang di Jerman, Bawa-Bawa Palestina
Ini menjadi salah saru dari sedikit platform di mana warga Rusia bisa mengakses berita tentang perang.
Berdasarkan laporan Forbes, Durov dilaporkan memiliki kekayaan USD 15,5 miliar atau setara Rp241 triliun.
Sejumlah pemerintah dikabarkan telah memberikan tekanan kepadanya, namun aplikasi Telegram, yang kini memiliki 900 juta pengguna aktif, harus menjadi platform netral dan bukan pemain di geopolitik.
Sumber : BBC Internasional/South China Morning Post
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.