YERUSALEM, KOMPAS.TV - Palestina pada Rabu (15/5/2024) akan memperingati 76 tahun Nakba atau peristiwa pengusiran ratusan ribu warga Palestina dari wilayah yang kini menjadi Israel.
Namun, peringatan tahun ini akan diwarnai pembantaian oleh Israel yang sedang terjadi di Gaza.
Nakba, kata dalam bahasa Arab yang berarti bencana. Sekitar 700.000 orang Palestina, mayoritas dari populasi sebelum perang, melarikan diri atau diusir dari rumah mereka sebelum dan selama perang Arab-Israel 1948 yang berujung dengan pendirian Israel.
Setelah perang, Israel menolak warga Palestina kembali ke rumah-rumah mereka karena hal itu akan membuat warga Yahudi menjadi minoritas di wilayah yang sekarang menjadi Israel.
Akibatnya, warga Palestina tersebut menjadi komunitas pengungsi yang tampaknya permanen yang sekarang jumlahnya sekitar 6 juta orang.
Sebagian besar dari mereka tinggal di kamp-kamp pengungsi perkotaan kumuh di Lebanon, Suriah, Yordania, dan Tepi Barat yang diduduki Israel sejak 1967.
Di Gaza, para pengungsi dan keturunannya mencapai sekitar tiga perempat dari total populasi di wilayah yang juga berada di bawah pendudukan Israel sejak 1967 dan diblokade sejak 2007.
Penolakan Israel terhadap apa yang disebut Palestina sebagai hak mereka untuk pulang, telah menjadi keluhan inti dalam konflik tersebut dan menjadi salah satu isu tersulit dalam pembicaraan perdamaian yang runtuh 15 tahun yang lalu.
Kamp-kamp pengungsi selalu menjadi benteng utama perlawanan Palestina.
Sekarang, banyak orang Palestina khawatir akan terulangnya sejarah pahit mereka dalam skala yang bahkan lebih dahsyat.
Di seluruh Gaza, warga Palestina dalam beberapa hari terakhir, mengangkut barang-barang mereka dengan mobil dan gerobak keledai atau berjalan kaki menuju tenda-tenda yang sudah penuh sesak karena Israel memperluas serangannya.
Gambar-gambar dari beberapa putaran evakuasi massal paksa yang dilakukan Israel sejak menyerang Gaza pada 7 Oktober 2023 lalu, sangat mirip dengan foto-foto hitam putih dari tahun 1948.
Baca Juga: Israel Tembaki Kendaraan WHO, Seorang Pegawai Lokal Tewas dan Satu Staf Internasional Luka Berat
Mustafa al-Gazzar, 81 tahun, masih mengingat perjalanan keluarganya selama berbulan-bulan dari desa mereka di apa yang sekarang menjadi Israel bagian tengah, ke Rafah di Jalur Gaza, ketika dia berusia 5 tahun.
Pada satu titik, mereka dibom dari udara, pada titik lain, mereka menggali lubang di bawah pohon untuk tidur agar tetap hangat.
Al-Gazzar yang kini sudah menjadi kakek, dipaksa melarikan diri lagi akhir pekan lalu. Kali ini ke tenda di Muwasi, daerah pantai yang tandus di mana sekitar 450.000 orang Palestina tinggal di kamp kumuh.
Dia mengatakan kondisinya lebih buruk daripada pada tahun 1948, ketika Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) secara teratur memberikan makanan dan kebutuhan lainnya.
"Harapan saya pada tahun 1948 adalah untuk kembali, tetapi harapan saya hari ini adalah untuk bertahan hidup," katanya.
"Saya hidup dalam ketakutan seperti ini," tambahnya sambil menangis.
"Saya tidak dapat menyediakan kebutuhan untuk anak-anak dan cucu saya."
Serangan Israel atas Gaza telah membunuh lebih dari 35.000 warga Palestina, menurut pejabat kesehatan setempat, menjadikannya putaran pertempuran yang paling mematikan dalam sejarah konflik ini.
Sedangkan serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 ke Israel diklaim menewaskan sekitar 1.200 orang.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.