RAFAH, KOMPAS.TV - Ketakutan, kelelahan, kelaparan dan keputusasaan semakin melanda warga Gaza yang mencari perlindungan di Rafah setelah Israel mengumumkan niatnya untuk menyerang Rafah.
Seorang di kamp Rafah, Nahed Abu Asi, hari Jumat, (9/2/2024) mengatakan, seperti banyak orang, ia percaya Israel ingin mendorong penduduk ke Mesir secara permanen, "Kami tidak akan pergi ke Mesir," katanya. "Kami akan kembali ke Kota Gaza dan mati di sana, atau di mana pun di tanah Gaza."
Sekitar 1,5 juta orang yang mencari perlindungan di Rafah, lebih dari setengah jumlah penduduk Gaza, sekarang terjebak tanpa tempat menyelamatkan diri menghadapi ancaman serangan yang telah menghancurkan sebagian besar kawasan perkotaan di wilayah lain.
Rafah, kota terluar di selatan Gaza, sekarang menjadi pusat perhatian. Sebagai satu-satunya tempat yang hampir belum tersentuh oleh serangan Israel, populasi Rafah telah melonjak hingga lebih dari lima kali lipat karena warga Palestina mengalir masuk untuk menghindari pertempuran.
Mereka berdesakan di dalam apartemen dan menaungi diri mereka di tenda-tenda yang memadati trotoar dan lahan kosong yang dulu sepi.
Banyak dari mereka yang sudah lelah dan muak dengan pelarian mereka, "Kami lelah. Serius, kami lelah. Israel bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan. Saya duduk saja di tenda saya. Saya akan mati di tenda saya," kata Jihan al-Hawajri, yang sudah melarikan diri berkali-kali dari ujung utara hingga sepanjang Gaza dan sekarang tinggal bersama 30 kerabatnya di dalam tenda di Rafah yang terletak di Selatan, seperti dilaporkan oleh Associated Press, Sabtu, (10/2/2024).
Pejabat PBB memperingatkan bahwa serangan terhadap Rafah akan menjadi bencana, dengan lebih dari 600.000 anak di sana berada di jalur serangan. Selain itu, serangan di kota ini dan wilayah sekitarnya juga bisa menyebabkan runtuhnya sistem bantuan kemanusiaan yang terseok-seok menjaga kehidupan penduduk Gaza.
Baca Juga: Netanyahu Perintahkan Pasukan Israel Merangsek ke Rafah, Malapetaka Besar Mengintai Pengungsi Gaza
Israel menyatakan perlunya merebut Rafah untuk memastikan kehancuran Hamas. Hari Jumat, Perdana Menteri Benyamin Netanyahu memerintahkan militer untuk menyusun rencana evakuasi setelah Amerika Serikat menyatakan penolakan terhadap serangan terhadap Rafah kecuali langkah-langkah dilakukan untuk melindungi penduduknya.
"Melakukan operasi semacam ini saat ini tanpa perencanaan dan pertimbangan yang memadai di daerah tempat berlindung satu juta orang akan menjadi bencana," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri Vedant Patel kepada wartawan hari Kamis. "Ini bukan sesuatu yang akan kami dukung."
Meskipun begitu, Washington terus memberikan dukungan sepenuhnya untuk kampanye Israel meskipun serangan Israel mengabaikan panggilan sebelumnya untuk mengurangi korban sipil.
Dalam menanggapi panggilan tersebut, Israel memperluas perintah evakuasinya saat pasukannya bergerak ke selatan, namun jumlah kematian di Gaza terus bertambah. Israel mengklaim Hamas bertanggung jawab karena memusatkan kekuatannya di daerah sipil.
Namun, warga sipil kehabisan tempat untuk mengungsi di Gaza. Rafah terjebak di antara Mesir di selatan, Laut Mediterania di barat, Israel di timur, dan pasukan Israel di utara.
Pada awal perang, Israel menyatakan sebagian daerah pedesaan di pantai yang berbatasan dengan Rafah, dikenal sebagai Muwasi, sebagai zona aman. Namun dalam beberapa minggu terakhir, Israel membombardir zona itu dan mengirim pasukan untuk merebut sebagian darinya.
Banyak warga Palestina di Rafah berasal dari Kota Gaza dan bagian lain di utara dan ingin kembali ke sana. Namun, Israel belum menunjukkan keinginan untuk mengizinkan perpindahan massal kembali ke utara, di mana mereka mengatakan pasukan mereka sebagian besar memiliki kendali operasional tetapi masih berjuang melawan kantong-kantong pejuang Hamas.
Mesir telah menolak keras adanya eksodus massal warga Palestina ke wilayahnya, khawatir Israel tidak akan mengizinkan mereka kembali. Israel juga tidak mungkin membiarkan ratusan ribu warga Palestina mencari perlindungan di wilayahnya sendiri.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.