YERUSALEM, KOMPAS.TV - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, hari Kamis, (8/2/2024) memerintahkan pasukan untuk bersiap-siap memasuki kota Rafah yang padat penduduk dan pengungsi di Jalur Gaza.
Netanyahu mengumumkan perintah tersebut setelah menolak tanggapan Hamas terhadap usulan gencatan senjata yang menjadi fokus upaya diplomatik intens dalam beberapa waktu terakhir, meskipun Menlu Amerika Serikat yang sedang berkunjung, Antony Blinken, hari Rabu bersikeras ia masih melihat "ruang untuk mencapai kesepakatan", seperti laporan Arab News, Kamis, (8/2/2024).
Sementara itu, kekhawatiran meningkat bagi ratusan ribu warga Palestina yang mencari perlindungan di Rafah di sepanjang perbatasan Mesir. Sekjen PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa serangan militer ke kota tersebut "akan secara eksponensial meningkatkan apa yang sudah menjadi mimpi buruk kemanusiaan".
Dalam keterangannya di televisi pada hari Rabu, Netanyahu mengatakan telah memerintahkan pasukan untuk "bersiap-siap beroperasi" di kota itu dan "kemenangan total" atas Hamas hanya beberapa bulan lagi.
Mengenai usulan gencatan senjata, ia menambahkan, "Mengalah pada tuntutan aneh Hamas yang baru saja kita dengar hanya akan mengundang pembantaian lainnya."
Blinken, yang sedang melakukan kunjungan lagi ke wilayah tersebut untuk mendorong gencatan senjata, mengatakan kepada wartawan di Tel Aviv setidaknya usulan balasan Hamas menawarkan peluang "untuk mengejar negosiasi".
Baca Juga: Netanyahu Kembali Menolak Syarat Gencatan Senjata Hamas, Bersumpah Tempur Hingga Menang Mutlak
"Meskipun ada beberapa hal yang jelas tidak dapat diterima dalam respons Hamas, kami berpikir hal itu menciptakan ruang untuk mencapai kesepakatan, dan kami akan bekerja tanpa henti sampai kami mencapainya," kata Blinken, beberapa jam setelah bertemu dengan Netanyahu.
Sejak 7 Oktober, perbatasan Lebanon-Israel telah menjadi saksi pertukaran tembakan hampir setiap hari antara Israel dan sekutu Hamas yang didukung Iran, Hezbollah.
Presiden International Crisis Group, Comfort Ero, memperingatkan bahwa eskalasi konflik di sekitar wilayah tersebut meningkatkan kemungkinan situasi menjadi lebih buruk.
"Saya pikir tiga kekuatan besar - Iran, Israel, dan AS - tidak ingin melihat eskalasi," katanya kepada AFP di Washington. "Tetapi kita juga melihat bahwa setiap hari kita semakin dekat ke kesalahan besar."
Kematian dan keputusasaan merajalela karena hampir 28.000 warga Gaza tewas dibunuh pasukan Israel, sementara 85% dari populasi 2,2 juta orang terlantar.
Masyarakat terpaksa bertahan dengan pakan hewan dan air yang tercemar karena Israel telah menghentikan pasokan ke enklave yang terkepung sejak awal konflik ini, yang kini memasuki bulan kelima.
Para ahli dan organisasi hak asasi manusia menegaskan bahwa berbagai bentuk penghancuran, setara dengan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, sedang terjadi di wilayah tersebut.
Sumber : Arab News
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.