YERUSALEM, KOMPAS.TV - Israel menolak solusi dua negara dalam penyelesaian konflik Israel - Palestina, serta resmi mengungkap penolakan resolusi PBB yang menuntut gencatan senjata di Jalur Gaza, berkilah itu hanya akan menguntungkan kelompok Palestina, Hamas.
Kebijakan Israel yang menyingkirkan kemungkinan solusi dua negara mulai diakui secara terbuka oleh Duta Besar Israel untuk Inggris. Dalam wawancara dengan Sky News pada hari Rabu, (13/12/2023) seperti laporan Anadolu, Kamis, (14/12/2023).
Dubes Israel untuk Inggris Tzipi Hotovely menyatakan "sudah saatnya dunia menyadari bahwa paradigma Oslo gagal pada 7 Oktober dan kita perlu membangun yang baru."
Terkait resolusi Majelis Umum PBB yang menuntut gencatan senjata kemanusiaan di Gaza, juru bicara PM Israel Benjamin Netanyahu, Ofir Gendelman, dalam konferensi pers melalui platform Zoom hari Rabu mengatakan gencatan senjata hanya bisa tercapai setelah Hamas dikalahkan. Pernyataan ini disampaikan sebagai respons terhadap resolusi PBB yang menyerukan gencatan senjata pada hari Selasa.
Pada hari Selasa, Majelis Umum PBB mengesahkan resolusi yang menyerukan "jeda kemanusiaan segera" di Jalur Gaza. Tuntutan ini muncul setelah jeda kemanusiaan tujuh hari di mana Israel dan faksi Palestina bertukar tahanan.
Gendelman menyatakan Israel tidak akan mengizinkan gencatan senjata di Jalur Gaza saat ini, mengklaim seruan gencatan senjata saat ini hanya akan menguntungkan Hamas, yang sangat membutuhkan istirahat dan kesempatan untuk reorganisasi.
Gendelman menegaskan dukungan penuh Amerika Serikat terhadap Israel dalam membongkar Hamas, membebaskan sandera Israel, dan menolak tekanan internasional untuk mengakhiri pertempuran melawan kelompok Palestina.
Namun, ada ketidaksepakatan dengan Washington mengenai era pasca-Hamas, dan "kami berharap dapat mencapai kesepakatan dalam hal ini," tambah juru bicara tersebut.
Baca Juga: Tak Peduli Seruan Gencatan Senjata, Netanyahu Bertekad Tetap Perang: Tak Ada yang akan Hentikan Kami
Di London, Dubes Israel untuk Inggris Tzipi Hotovely menegaskan bahwa alasan kegagalan perjanjian Oslo adalah karena Palestina tidak pernah ingin memiliki negara di samping Israel, melainkan mereka ingin memiliki negara dari sungai hingga laut.
Ketika ditanya mengenai solusi dua negara, Hotovely menolak gagasan itu setelah ditanya apakah solusi itu sudah mati.
Sementara ketika ditanya mengenai pandangan Presiden AS Joe Biden bahwa Israel kehilangan dukungan karena "pemboman sembrono" di Gaza, ia mengatakan, "Orang Amerika berperang melawan ISIS di Mosul (Irak). Jauh lebih banyak orang yang tewas proporsional di Mosul daripada orang di Gaza."
Hotovely menambahkan Israel "melakukan segala yang bisa" untuk mencegah korban jiwa dan menyoroti perlunya mengatasi masalah pendidikan di Gaza dengan menuding sekolah PBB yang "menjadi sekolah teroris."
Dia mengatakan dengan pendidikan kembali seperti model China, ia menolaknya sambil menambahkan: "Kalian tidak belajar dari sejarah kalian sendiri," dengan menunjukkan bahwa Jepang dan Jerman "berubah menjadi negara Barat yang baik" setelah Perang Dunia II.
Dalam wawancara dengan Sky News bulan Oktober, Hotovely tidak mengakui adanya krisis kemanusiaan di Gaza, dengan mengatakan Israel tidak membom warga sipil di Gaza.
Pada hari Rabu, Kementerian Kesehatan di Gaza melaporkan korban meninggal mencapai setidaknya 18,884, dengan lebih dari 55,000 orang terluka, demikian disampaikan Kementerian Kesehatan pada Kamis malam (14/12/2023).
Dalam pernyataan pers, Kementerian menyebutkan bahwa jumlah korban di Jalur Gaza mencapai 18,600 orang, sedangkan jumlah korban di Tepi Barat juga melonjak menjadi 286. Selain itu, sekitar 51,000 warga Palestina terluka di Gaza, dan hampir 3,430 lainnya di Tepi Barat.
Sumber : Anadolu / Sky News
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.