Baca Juga: Di Balik Layar Perundingan Gencatan Senjata Israel-Hamas Versi Media Israel
“Yang saya tinggalkan di rumah hanyalah mayat dan reruntuhan,” ujar Mohammed al-Hadad, perencana pesta berusia 28 tahun yang melarikan diri dari kamp pengungsi Shati di sepanjang pantai Kota Gaza. Shati mengalami hampir 14.000 kejadian kerusakan perang dalam hanya 0,5 kilometer persegi, analisis data satelit menunjukkan.
Gaza Selatan, tempat krisis kemanusiaan muncul akibat kekurangan makanan, air, dan bahan bakar, sementara itu masih terhindar dari serangan terberat, menurut analisis tersebut.
Namun, situasinya berubah. Dua minggu terakhir, data satelit menunjukkan lonjakan kerusakan di selatan kota Khan Younis. Warga mengatakan militer Israel sudah membanjiri bagian timur kota dengan perintah evakuasi.
Israel mendorong warga di selatan Gaza untuk pindah lagi, menuju Muwasi di sepanjang pantai. Per hari Kamis, (23/11/2023), Israel dan Hamas masih merundingkan rincian gencatan senjata empat hari yang akan berlaku hari Jumat, (24/11/2023) dan akan memungkinkan lebih banyak bantuan kemanusiaan dan pertukaran tahanan Palestina untuk sandera Israel.
Namun, warga Palestina yang terlantar mengatakan empat hari tidak akan cukup.
“Ini adalah nakba kami," ujar jurnalis berusia 32 tahun, Tareq Hajjaj, merujuk pada pengusiran massal sekitar 700.000 warga Palestina selama perang 1948 yang melibatkan pembentukan Israel. “Mereka yang tinggal di sini akan menghadapi situasi yang paling mengerikan yang bisa mereka bayangkan.”
Meskipun secara publik Palestina menolak gagasan untuk dipindahkan keluar Gaza, beberapa secara pribadi mengakui bahwa mereka tidak dapat tinggal, bahkan setelah perang berakhir.
Baca Juga: Gencatan Senjata dengan Hamas Bikin Pemerintahan Israel Pecah, Ada yang Kesal Perang Terhenti
“Kami tidak akan pernah pulang,” ujar Hajjaj, yang melarikan diri dari rumahnya di Shijaiyah di timur Kota Gaza. “Mereka yang tinggal di sini akan menghadapi situasi yang paling mengerikan yang bisa mereka bayangkan.”
Perang Israel-Hamas tahun 2014 meratakan Shijaiyah, mengubah lingkungan tersebut menjadi ladang reruntuhan abu-abu yang tidak aktif. Upaya rekonstruksi senilai $5 miliar di sana dan di seluruh Gaza masih belum selesai hingga saat ini.
“Kali ini skala kehancuran jauh lebih tinggi secara eksponensial,” ujar Giulia Marini, pejabat advokasi internasional di kelompok hak asasi Palestina Al Mezan. “Akan memakan waktu puluhan tahun bagi Gaza untuk kembali ke posisi sebelumnya.”
Belum jelas siapa yang akan bertanggung jawab atas tugas itu. Dalam pertemuan keamanan terkini di Bahrain, Menteri Luar Negeri Yordania, Ayman Safadi, berjanji negara-negara Arab tidak akan "datang dan membersihkan kekacauan setelah Israel."
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ingin angkatan bersenjatanya memulihkan keamanan, dan pejabat Amerika mendorong skenario yang tampaknya tidak mungkin, yaitu Otoritas Palestina yang berbasis di Tepi Barat mengambil alih Gaza.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas, yang dianggap lemah oleh banyak warga Palestina, menolak gagasan itu tanpa upaya Israel menuju solusi dua negara.
Meskipun horor perang, Yasser Elsheshtawy, seorang profesor arsitektur di Universitas Columbia, berharap rekonstruksi dapat menjadi kesempatan untuk mengubah kamp-kamp pengungsi dan infrastruktur yang telah memburuk lama di Gaza menjadi "sesuatu yang lebih dapat dihuni, adil, dan manusiawi," termasuk taman umum dan tepi laut yang direvitalisasi.
Tetapi warga Palestina mengatakan tidak hanya infrastruktur yang hancur yang perlu dibangun kembali, melainkan masyarakat yang mengalami trauma parah, oleh kehancuran dan kematian keluarga akibat dibunuh Israel, “Gaza sudah menjadi tempat yang sangat menakutkan,” kata Abusada. "Itu akan selalu penuh dengan kenangan kematian dan kehancuran."
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.