KOTA GAZA, KOMPAS.TV - Pemakaman massal menjadi solusi terakhir warga Gaza yang dihadapkan pada jumlah korban yang luar biasa seiring serangan rudal dan artileri Israel memasuki bulan kedua.
Tragedi terus meruncing, mengungkap lebih banyak kejahatan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap warga sipil di Jalur Gaza, seperti yang dilaporkan oleh Anadolu, Sabtu (11/11/2023).
Saadi Baraka, seorang tukang gali kubur senior Palestina berusia 63 tahun, berbicara tentang penderitaannya karena harus mengubur jasad anak-anak dan perempuan dalam jumlah besar sejak dimulainya perang pada 7 Oktober.
Meskipun menghabiskan hidupnya di profesi pemakaman, ia mengatakan apa yang sedang ia saksikan saat ini "tidak dapat dibandingkan" dengan apa pun di masa lalu. Ia bahkan sampai tak dapat tidur atau makan sebagai akibatnya.
Meskipun semua upaya untuk menggambarkan perang adalah untuk memusnahkan Hamas, kenyataannya adalah, menurut angka resmi, mayoritas populasi Gaza yang terdiri dari perempuan dan anak-anaklah yang jadi korban serangan Israel.
Saadi Baraka menceritakan kenapa akhirnya warga Gaza harus memilih memakamkan korban pembunuhan Israel secara massal.
"Kami terpaksa melakukan ini (pemakaman massal). Tidak ada tempat untuk menampung jumlah jenazah setiap hari, dan tidak ada blok (plat semen yang ditempatkan di atas mayat di makam). Semuanya sudah habis di Gaza,” kata Baraka.
"Saya belum pernah melihat, sampai sekarang pun, kejahatan seperti ini terhadap anak-anak, perempuan dan lansia, bahkan dalam rezim Nazi yang mereka bicarakan,” katanya.
Baca Juga: Kondisi Gaza Kian Mengerikan, Arab Saudi Gelar KTT Darurat Gabungan untuk Putuskan Aksi Bersama
"Kemarin, saya mengubur hampir 600 korban tewas, lebih banyak daripada yang saya kubur dalam lima tahun terakhir. Saya belum pernah melihat kekejaman seperti ini. Mayoritas dari yang saya kubur adalah perempuan dan anak-anak,'' katanya.
Menurut Baraka, setiap kuburan massal berukuran sekitar 6 meter, dan sekitar 45 orang dikubur di dalamnya. Kuburan massal terbesar menampung 137 orang.
Tentang kebutuhan menggali kuburan massal, ia mengatakan, "Tidak ada bahan yang tersisa; tidak ada yang tersisa di Gaza. Bahkan air tidak lagi tersedia."
Tentang mayat yang tidak dikenal, ia mencatat mereka dikubur seperti yang lain, dan ia menolak kemungkinan menggali kuburan setelah perang untuk mengidentifikasi mayat.
Baraka menceritakan kesedihannya selama hari-hari kerjanya yang panjang. "Saya tidak bisa tidur melihat begitu banyak mayat anak yang sudah saya lihat. Apa salah anak-anak ini?" ujarnya lirih.
"Kami tidak mencari bantuan dan makanan; kami berusaha untuk perdamaian sejak zaman Abu Ammar (almarhum Presiden Palestina Yasser Arafat). Sementara itu, Netanyahu hanya mengejar pertumpahan darah,'' katanya.
"Kami berupaya untuk hidup dengan martabat dan kemerdekaan, untuk punya negara, dan kedaulatan. Saya ingin menjadi warga seperti di negara lain di dunia. Mereka yang mengirim bantuan seharusnya mempertimbangkan untuk membiarkan kami hidup sebagai warga negara di negara kami sendiri, seperti halnya di negara lain,” tambahnya.
Sumber : Anadolu
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.