AMMAN, KOMPAS.TV - Raja Yordania Abdullah II mengatakan kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron agar menyuruh Israel mengakhiri perang Israel-Hamas di Gaza karena itu adalah kebutuhan mendesak, Rabu (25/10/2023). Jika tidak, ia memperingatkan, bisa terjadi 'ledakan' di Timur Tengah yang lebih luas.
Dalam pernyataan dari istana kerajaan, Raja Abdullah II mengatakan kepada Macron bahwa Israel harus ditekan oleh kekuatan global untuk menghentikan kampanye pengeboman yang tak kenal henti di Gaza yang dikuasai Hamas dan mengakhiri pengepungan daerah padat penduduk yang dihuni oleh 2,3 juta warga Palestina.
Kementerian kesehatan Gaza hari Rabu mengatakan setidaknya 6.546 warga Palestina, termasuk 2.704 anak-anak, tewas akibat dibunuh serangan udara Israel sejak serangan Hamas lintas perbatasan ke Israel yang menewaskan 1.400 warga Israel, terutama warga sipil.
Macron, yang tiba di Amman setelah mengadakan pembicaraan pada hari Selasa dengan pemimpin Israel dan Palestina, mendiskusikan dengan Abdullah cara-cara untuk mengakhiri konflik berdasarkan solusi dua negara yang menyatukan negara Palestina dengan Israel.
Kekuatan dunia menyatakan mendukung solusi dua negara untuk kemerdekaan Palestina di wilayah yang diduduki Israel, meskipun negosiasi yang difasilitasi oleh AS menuju tujuan tersebut mampet selama hampir satu dekade, dan kekerasan antara Israel dan Palestina semakin memburuk.
"Terus berlanjutnya perang (di Gaza) akan menyebabkan ledakan situasi di wilayah ini," kata Raja Abdullah II kepada Macron, mencerminkan kekhawatiran di antara para pemimpin regional bahwa perang tersebut bisa meluas jauh di luar Gaza.
Di Israel, Macron memperingatkan tentang risiko konflik lebih luas di Timur Tengah dan juga mengatakan bahwa perlawanan terhadap Hamas "harus tanpa ampun namun tidak tanpa aturan", mengacu pada kematian dan penderitaan warga sipil di Gaza yang terkepung.
Konflik tersebut telah membangkitkan kembali kekhawatiran lama di Yordania, yang menjadi rumah bagi sebagian besar pengungsi Palestina dan keturunannya, bahwa konflik yang lebih luas bisa mendorong Israel mengusir massal penduduk Palestina dari Tepi Barat yang diduduki. Israel menarik diri dari Gaza pada tahun 2005 setelah pendudukan selama 38 tahun.
Baca Juga: Ini Alasan Mesir dan Yordania di KTT Mesir Dengan Keras Menolak Pengungsi dari Gaza, Bikin Terharu
"Kami menentang upaya apa pun oleh Israel untuk menciptakan eksodus warga Palestina atau mengusir penduduk Gaza secara internal," kata Raja Abdullah, menurut pernyataan istana kerajaan tersebut.
Mesir dan Yordania, hari Sabtu (21/10/2023) kemarin, dengan keras menolak arus pengungsi Palestina dari Gaza masuk Mesir maupun Yordania dan mengkritik tindakan Israel di Gaza dalam sebuah pertemuan puncak di Mesir.
Hal ini menunjukkan dua sekutu Barat yang sudah berdamai dengan Israel sejak beberapa dekade yang lalu mulai kehilangan kesabaran dengan perang Israel selama dua minggu terhadap Hamas.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sissi, yang menjadi tuan rumah pertemuan tersebut, sekali lagi menolak pembicaraan mengenai pemindahan 2,3 juta warga Palestina Gaza ke Semenanjung Sinai dan memperingatkan tentang "penghapusan tujuan Palestina".
Raja Yordania Abdullah II, menyebut pengepungan dan pengeboman Gaza oleh Israel sebagai "kejahatan perang." seperti yang dilaporkan oleh Associated Press, Sabtu (21/10).
Pidato-pidato tersebut mencerminkan kemarahan yang semakin berkembang di wilayah tersebut, bahkan di antara mereka yang memiliki hubungan dekat dengan Israel dan sering berperan sebagai mediator. Ini terjadi ketika perang yang dipicu oleh serangan brutal Hamas pada 7 Oktober memasuki minggu ketiga dengan bertambahnya korban dan tanpa tanda-tanda akhir.
Penolakan mereka didasari oleh kekhawatiran bahwa Israel ingin memaksa pengusiran permanen warga Palestina ke negara mereka dan membatalkan tuntutan Palestina untuk mendirikan negara.
Yordania, yang berbatasan dengan Tepi Barat di sebelah barat, menyerap sebagian besar warga Palestina yang melarikan diri atau diusir dari rumah mereka selama perang yang melibatkan penciptaan Israel pada tahun 1948.
Sumber : Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.