WELLINGTON, KOMPAS.TV – Di sebuah galeri seni di pinggiran kota Wellington, Selandia Baru, digelar pameran foto bertajuk Monochrome, yang berlangsung pada 12-24 September 2023 lalu.
Seperti namanya, foto-foto yang ditampilkan dalam pameran ini dicetak hitam putih. Namun ada sesuatu yang menarik dan tidak biasa dalam pameran ini. Di sebuah sudut galeri, terdapat kumpulan foto-foto yang menggambarkan tentang kehidupan Indonesia pada tahun 1990an.
Tiga bocah Bali yang sedang tertawa lepas di tahun 1993, Idul Fitri di Bandung tahun 1997, dan nelayan Pangandaran di tahun 1997.
Ada pula potret seorang perempuan Jawa yang mengenakan kebaya, tertidur sambil memeluk kandang burung yang merupakan barang dagangannya di sebuah pasar di Yogyakarta, tahun 1996. Momen-momen itu diabadikan oleh Emiel Lammers van Toorenburg dalam jepretan kameranya.
Melihat foto-foto itu, seperti memasuki mesin waktu. Membawa kenangan kita kembali ke Indonesia di masa tiga dekade lampau. Foto-fotonya membawa imaji menjelajah ke pelosok Indonesia pada masa itu; ke pedesaan, pesisir pantai, hingga ke pasar tradisional.
Bagi Emiel, foto-foto ini lebih dari sekedar gambar. Foto-foto ini adalah perjalanan batinnya untuk pulang ke Indonesia.
“Saya orang Indonesia,” demikian ujarnya ketika memperkenalkan diri. Darah Indonesia mengalir dalam tubuh Emiel.
Ia lahir di Cimahi, Jawa Barat, 76 tahun lalu. Kedua kakeknya dari pihak ayah dan ibu merupakan orang Belanda yang menikah dengan perempuan Jawa. Namun pada tahun 1950, ketika ia berusia tiga tahun, Emiel dan keluarganya meninggalkan Indonesia untuk hidup di Belanda.
Baca Juga: Intip Aksi Warga Indonesia Rayakan HUT Kemerdekaan RI di Ujung Selatan Bumi, Digelar KBRI Wellington
Sejak remaja, Emiel memiliki ketertarikan dengan dunia fotografi. Ketika akan menikah dengan istrinya tahun 1988, mereka pun memutuskan untuk berbulan madu ke Bali. Pengalaman ini merupakan pertama kalinya bagi Emiel untuk pulang kembali ke Indonesia.
Emiel masih mengingat apa yang dia rasakan pertama kali ketika menginjakkan kaki ke Bali: cuaca yang hangat, aroma rokok kretek, dan begitu banyak orang yang terlihat seperti dirinya!
Sejak saat itu, dia semakin tertarik untuk mempelajari budaya Indonesia. Setelah menikah, ia tinggal di Wellington, Selandia Baru.
Untuk memenuhi ketertarikannya akan Indonesia, dia mengambil kelas Bahasa Indonesia di Wellington. Dan dia pun beberapa kali kembali ke Bali, di mana dia juga memenuhi hobi fotografi dengan memotret kehidupan warga Bali.
Kecintaannya dengan budaya Indonesia bagaikan gayung bersambut, ketika perusahaan tempatnya bekerja, Telecom NZ, mengirimnya untuk bekerja di Indonesia pada tahun 1995. Dalam kesempatan ini, untuk pertama kalinya dia kembali ke tanah kelahirannya di Cimahi dan melihat rumah tempat keluarganya dulu tinggal.
Pada tahun yang sama, dia mendapatkan tawaran kerja di PT Siemens yang berlokasi di Bandung.
“Hanya butuh waktu selama dua detik bagi saya dan istri untuk menerima tawaran itu,” ujar Emiel ketika ditemui KompasTV di Wellington.
Emiel pun pindah ke Bandung pada tahun 1995, di mana selain bekerja, dia juga melakukan hobi fotografi untuk menangkap objek-objek foto menarik di Jawa Barat. Emiel sangat menikmati kehidupannya di Bandung, yang dia gambarkan sebagai kehidupan yang fantastis.
Emiel dan Diane, istrinya, bekerja dan menikmati budaya Indonesia di Bandung. Mereka selalu mencari acara yang dapat dinikmati masyarakat umum di Indonesia, untuk melebur dengan budaya dan masyarakat lokal.
Diane mengajar bahasa Inggris secara gratis kepada staf rumah tangga mereka. Selain itu, Diane juga mengajar di Bandung International School.
“Kami selalu menikmati kehidupan di sana seperti layaknya orang Indonesia,” ujarnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.