PHNOM PENH, KOMPAS.TV - Partai penguasa Kamboja hari Senin (24/7/2023) merayakan kemenangan telaknya dalam pemilu di akhir pekan sebagai mandat yang jelas untuk lima tahun ke depan. Amerika Serikat (AS) mengatakan tindakan partai tersebut menghambat oposisi yang berarti pemilu tidak dapat dianggap bebas atau adil, dan Washington akan mengambil tindakan hukuman.
Partai Rakyat Kamboja (CPP) yang dipimpin oleh pemimpin otoriter Hun Sen berhasil meraih 120 dari 125 kursi yang tersedia dalam pemilu Minggu lalu, menurut hasil sementara yang dilaporkan oleh Associated Press, Senin (24/7).
Pria berusia 70 tahun yang berkuasa selama 38 tahun tersebut mengatakan ia berencana menyerahkan posisi perdana menteri kepada putranya yang tertua, Hun Manet, yang berusia 45 tahun, dan juga merupakan kepala militer Kamboja, dan berhasil memenangkan kursi parlemen pertamanya hari Minggu.
Penyerahan kekuasaan ini merupakan bagian dari apa yang diharapkan menjadi perubahan generasi secara luas dalam posisi-posisi puncak bagi CPP. Meskipun belum jelas kapan tepatnya Hun Manet akan mengambil alih, Hun Sen telah menyatakan hal itu bisa terjadi dalam waktu sebulan ke depan.
Di halaman Facebook-nya hari Senin, Hun Manet menyatakan hasil pemilu menunjukkan "rakyat Kamboja dengan jelas mengekspresikan kehendak mereka melalui hak pilih". Ia berterima kasih kepada rakyat Kamboja atas "kasih sayang dan kepercayaan mereka kepada CPP" dan berjanji partai tersebut akan "terus melayani Kamboja dan rakyat Kamboja dengan lebih baik lagi."
Setelah menghadapi tantangan dari partai oposisi Partai Penyelamatan Nasional Kamboja tahun 2013 yang hampir berhasil mengalahkan CPP dalam pemilu, Hun Sen menanggapi dengan mengejar para pemimpin oposisi, dan akhirnya pengadilan yang simpati kepada pemerintah membubarkan partai tersebut.
Baca Juga: Anggota DPR Jadi Peninjau Pemilu di Kamboja: Perlu Dicontoh, Tidak ada Fitnah dan Gontok-gontokan
Sebelum pemilu Minggu lalu, penerus tidak resmi dari CNRP yang dikenal sebagai Partai Cahaya Lilin, dilarang berpartisipasi dalam pemilu karena alasan teknis oleh Komite Pemilu Nasional.
AS, Uni Eropa, dan negara-negara Barat lainnya menolak mengirimkan pengamat ke pemilu, dengan alasan pemilu Kamboja tidak memenuhi syarat untuk dianggap bebas dan adil. Rusia dan China adalah di antara negara-negara yang mengirimkan pengamat.
Pada Minggu malam, Departemen Luar Negeri AS mengumumkan mereka "mengambil langkah" untuk memberlakukan pembatasan visa "bagi individu-individu yang mengancam demokrasi dan menghentikan program bantuan luar negeri" setelah menentukan pemilu tersebut "tidak bebas dan adil."
"Otoritas Kamboja terlibat dalam pola ancaman dan pelecehan terhadap oposisi politik, media, dan masyarakat sipil yang merusak semangat konstitusi negara dan kewajiban internasional Kamboja," kata juru bicara Departemen Luar Negeri, Matthew Miller.
"Tindakan-tindakan ini menghalangi rakyat Kamboja untuk memiliki suara dan pilihan dalam menentukan masa depan negara mereka."
Michael Greenwald, juru bicara Kedutaan Besar AS di Phnom Penh, hari Senin mengatakan pembatasan visa akan diberlakukan bagi orang-orang yang terlibat dalam "mengancam dan melecehkan oposisi politik, media, dan masyarakat sipil," tetapi ia tidak menyebutkan siapa atau berapa banyak individu yang akan terkena dampaknya.
Baca Juga: Putra Pemimpin Kamboja Lulusan West Point Siap Mengambil Alih Kekuasaan
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.