PARIS, KOMPAS.TV - Prancis menurunkan sekitar 130.000 aparat penegak hukum untuk perayaan Hari Bastille tanggal 14 Juli. Pengerahan ribuan personel itu untuk mengantisipasi tidak terulangnya kerusuhan yang terjadi baru-baru ini.
Dalam penekanannya, Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin menegaskan, keputusan ini bertujuan untuk menjamin keamanan dengan mencegah kemungkinan kerusuhan. Dilaporkan, 55 petugas penegak hukum terluka, 807 orang ditangkap, dan hampir 750 kendaraan dibakar selama perayaan Hari Bastille pada tahun sebelumnya.
Selain petugas penegak hukum, sekitar 34.000 petugas pemadam kebakaran, helikopter, dan kendaraan lapis baja akan memberikan dukungan, tambahnya seperti laporan Anadolu, Kamis (14/7/2023).
Darmanin juga mencatat jadwal transportasi umum di kota-kota besar akan disesuaikan, dan demonstrasi pada tanggal 15 Juli untuk memperingati Adama Traore, yang meninggal dalam tahanan polisi pada tahun 2016, akan dilarang.
Protes meletus di Prancis pada akhir bulan lalu ketika seorang petugas polisi menembak mati Nahel M, seorang remaja berusia 17 tahun keturunan Aljazair, selama pemeriksaan lalu lintas di pinggiran kota Paris, Nanterre, setelah dia mengabaikan perintah untuk berhenti.
Setelah pembunuhan Nahel, ribuan orang turun ke jalan-jalan di Prancis.
Kendaraan dan gedung-gedung publik, termasuk balai kota dan sekolah, dibakar, dan menurut Darmanin, yang berbicara di hadapan Senat minggu lalu, sekitar 4.000 orang ditangkap, sebagian besar remaja.
Baca Juga: Rusuh di Prancis Terus Membara, Mbappe Buka Suara: Kami Pahami Kemarahan Publik
Kelompok hak asasi manusia Amnesty International menyerukan polisi Prancis untuk mengakhiri rasisme sistemik setelah pembunuhan seorang remaja berusia 17 tahun bulan lalu.
Seorang petugas polisi menembak mati Nahel M, seorang remaja keturunan Aljazair, selama pemeriksaan lalu lintas setelah diduga dia mengabaikan perintah untuk berhenti di pinggiran kota Paris, Nanterre, pada tanggal 27 Juni.
"Kematian Nahel adalah pembunuhan ilegal," tulis Amnesty di Twitter, dan mendesak Prancis untuk meninjau aturan penggunaan senjata dan "mengakhiri rasisme sistemik dalam tindakan penegakan hukum."
Nahel setidaknya menjadi korban ke-15 yang tewas selama pemeriksaan lalu lintas di Prancis pada tahun 2022, kata Amnesty, mengingat bahwa kode keamanan internal telah diubah pada tahun 2017 untuk memperluas penggunaan senjata.
Dalam konteks ini, Amnesty menyesalkan bahwa petugas penegak hukum memiliki terlalu banyak kebebasan untuk menafsirkan hukum, yang mengakibatkan kematian Nahel kali ini.
"Kematian Nahel juga merupakan hasil dari diskriminasi dan rasisme polisi," tambahnya, sambil menyatakan bahwa pejabat seperti Kepala Kepolisian Paris, Laurent Nunez, dan Presiden Emmanuel Macron menyangkal isu-isu tersebut.
"Kami mendukung aksi unjuk rasa yang menuntut keadilan bagi Nahel dan korban-korban kekerasan polisi lainnya," tambah Amnesty.
"Berapa banyak Nahel yang tidak terekam? Berapa banyak petugas polisi yang tidak diadili? Berapa banyak keluarga korban yang menunggu keadilan terwujud?" tanya kelompok hak asasi manusia tersebut.
Sumber : Anadolu
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.