WASHINGTON, KOMPAS.TV - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden membela kebijakan pemerintahannya yang mengirim bantuan bom curah alias bom tandan (cluster munition) ke Ukraina. Biden menyebut bantuan itu "keputusan sulit" yang perlu diambil karena Washington juga kekurangan amunisi.
Bom curah sendiri telah dilarang sejak Convention on Cluster Munitions (CCM) yang digelar di Oslo, Norwegia pada 1 Agustus 2010. Terdapat 108 negara yang meratifikasi konvensi tersebut. Namun, AS, Rusia, dan Ukraina tidak ikut meratifikasinya.
Bom curah dilarang karena membahayakan warga sipil. Serangan bom curah menebarkan bom-bom kecil ke wilayah yang luas. Selain rawan salah sasaran, bagian bom curah yang belum meledak dapat tertanam seperti ranjau dan membahayakan masyarakat, terutama anak-anak, di daerah konflik.
"Ini adalah perang terkait munisi. Dan mereka (Ukraina) kekurangan amunisi itu, dan kami juga kekurangan," kata Biden kepada CNN via The Guardian, Sabtu (8/7/2023).
"Jadi, apa yang akhirnya saya lakukan, saya mengikuti rekomendasi Kementerian Pertahanan (AS) untuk, tidak terus-terusan, tetapi mengizinkan selama periode transisi ini, selagi kita mendapat 155 senjata lagi, amunisi-amunisi ini, untuk Ukraina," lanjutnya.
Baca Juga: Turki Dukung Bergabungnya Ukraina ke NATO, Ejek Swedia dan Pembalasan atas Pembakaran Al-Quran?
Bantuan bom curah ke Ukraina termasuk dalam seri bantuan militer terbaru senilai USD800 juta yang disahkan Pentagon pada Jumat (7/7). Penyertaan bom curah dalam paket bantuan ini dikritik berbagai pihak, termasuk dari sekutu politik Biden di Partai Demokrat AS.
Sebelumnya, penasihat keamanan pemerintahan Joe Biden, Jake Sullivan mencoba menepis kekhawatiran terkait bom curah. Menurutnya, Ukraina butuh bom curah dan berkomitmen tidak akan menggunakannya untuk menyerang wilayah Rusia.
Sullivan juga mengeklaim AS mengirimkan bom curah dengan tingkat gagal ledak (dud rate) yang kecil, sekitar 2,5%. Tingkat gagal ledak rendah dinilai meminimalisasi bahaya ke warga sipil karena kebanyakan bagian bom tidak akan tertanam seperti ranjau.
Sullivan pun mengeklaim bahwa Rusia, selama menginvasi Ukraina, menerjunkan bom curah dengan tingkat gagal ledak mencapai 30-40%. Di lain sisi, Kiev disebut telah berkomitmen secara tertulis untuk menggunakan bom curah dengan sangat hati-hati, menghindari penggunaan yang membahayakan warga sipil.
"Kami mengakui bahwa bom curah menimbulkan risiko korban sipil dari bagian yang gagal meledak. Namun, juga ada risiko bahaya sipil yang besar jika pasukan dan tank Rusia dibiarkan melalui posisi-posisi Ukraina dan mengambil lebih banyak teritori Ukraina dan menaklukkan lebih banyak warga Ukraina hanya karena Ukraina tak punya artileri," kata Sullivan.
"Ini tak bisa diterima bagi kami. Ukraina tidak akan menggunakan bom ini di tanah asing. Mereka sedang mempertahankan negara sendiri. Ini adalah warga mereka yang dilindungi mereka dan mereka ingin menggunakan semua sistem persenjataan yang ada dengan cara yang meminimalkan risiko ke warga sipil," lanjutnya.
Walaupun penggunaan dan produksinya telah dilarang oleh konvensi internasional, namun bom curah masih digunakan dalam konflik-konflik terkini. Menurut Cluster Munition Monitor, terdapat sedikitnya 149 sipil yang terbunuh atau terluka karena bom curah pada 2021.
Selain itu, masih ada belasan negara yang memproduksi bom curah setelah konvensi anti-bom curah dibuat. Negara-negara itu di antaranya adalah AS, China, Israel, Rusia, dan Turki.
Baca Juga: Xi Jinping Ancam Putin Tak Gunakan Senjata Nuklir di Ukraina, Akhirnya Kremlin Buka Suara
Sumber : The Guardian
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.