DARFUR, KOMPAS.TV - Pertumpahan darah di wilayah Darfur, Sudan, yang telah berlangsung selama tiga hari, kini telah menewaskan sedikitnya 14 orang.
Adam Haroun, seorang aktivis lokal, mengatakan bentrokan meletus sejak hari Minggu (9/4) di provinsi Darfur Barat, setelah orang-orang Arab bersenjata dan mengendarai sepeda motor menembak dan membunuh seorang pedagang di kota terpencil, Fur Baranga.
Pembunuhan itu memicu serangkaian serangan balasan dari kelompok suku Afrika, sehingga terjadi perseteruan antara kelompok suku Arab dan Afrika.
“Kekerasan terus berlanjut hingga Selasa (11/4) dan jumlah korban tewas kemungkinan akan meningkat,” kata Haroun seperti dikutip dari the Associated Press.
Pada hari Senin, gubernur Darfur Barat mengumumkan keadaan darurat selama dua minggu dan memberlakukan jam malam di seluruh negara bagian.
Baca Juga: Bentrokan Suku di Darfur Sudan Tewaskan 125 Orang, Pemicunya Sengketa Lahan
Analis melihat peningkatan kekerasan dalam beberapa bulan terakhir, terjadi karena adanya kekosongan kekuasaan dan kekacauan politik.
Pada akhir Maret, sedikitnya lima orang tewas dalam bentrokan di Darfur Barat. Oktober lalu, lebih dari 170 orang tewas dalam bentrokan di provinsi Blue Nile, yang terletak di sudut tenggara terpencil negara Afrika itu.
Sudan telah tenggelam dalam kekacauan sejak kudeta militer, yang dipimpin oleh Jenderal Abdel-Fattah Burhan yang terkemuka di negara itu. Dia menggulingkan pemerintah yang didukung Barat pada Oktober 2021, dan mengakhiri transisi singkatnya menuju demokrasi.
Pada Selasa (11/4), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan sangat prihatin setelah beredarnya sebuah video di media sosial yang menunjukkan seorang pria menyerukan agar perwakilan khusus PBB di Sudan dibunuh.
“Saya meminta fatwa,” kata pria yang mengidentifikasi dirinya dalam video sebagai Abdelmoneim. "Saya menawarkan diri untuk membunuh Volker (Perthes)," katanya dalam video itu.
Menanggapi beredarnya video itu, PBB pun memberikan tanggapan.
"Bahasa hasutan dan kekerasan hanya akan memperdalam perpecahan di lapangan," kata Stephane Dujarri, juru bicara PBB.
Baca Juga: Sudan Miliki Minuman Wajib Berbuka saat Puasa Ramadan, Terbuat dari Jagung dan Rempah-rempah
Di bawah tekanan internasional yang kuat, militer yang berkuasa di Sudan dan berbagai kekuatan pro-demokrasi menandatangani kesepakatan awal pada bulan Desember dan berjanji untuk mengembalikan transisi menuju demokrasi.
Tetapi setelah perselisihan berbulan-bulan, pembicaraan lintas partai yang ditengahi oleh PBB dan aktor internasional lainnya, kekacauan politik Sudan belum menyetujui kesepakatan akhir.
Konflik di Darfur pertama kali pecah pada tahun 2003 ketika pemberontak yang mayoritas berasal dari komunitas etnik pusat dan sub-Sahara Afrika di kawasan itu melancarkan pemberontakan. Mereka merasa mendapat penindasan dari pemerintah yang didominasi kelompok Arab di Khartoum.
Pemerintah saat itu, yang dipimpin oleh al-Bashir, menanggapi dengan melakukan kekerasan. Sekitar 300.000 orang tewas dan 2,7 juta orang diusir dari rumah mereka di Darfur selama bertahun-tahun karena konflik ini.
Sumber : The Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.