PARIS, KOMPAS.TV - Sejumlah besar pekerja profesional muslim dilaporkan pilih meninggalkan Prancis karena diskriminasi di negara dengan populasi muslim terbesar di Eropa tersebut. Para ahli menyebut pekerja muslim Prancis cenderung pergi bekerja ke luar negeri yang dinilai lebih toleran.
Hal tersebut terungkap dalam studi terbaru yang dilakukan Universitas Lille Prancis. Profesor Olivier Esteves, akademisi yang memimpin studi itu, menyebut muslim berpendidikan tinggi cenderung mencari kerja di negara lain seperti Inggris Raya, Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Uni Emirat Arab.
Tim Esteves sendiri menyurvei 1.074 muslim yang meninggalkan Prancis. Lebih dari sepertiganya mengaku pindah negara demi menjalankan perintah agama secara lebih bebas. Sebanyak 70 persen di antaranya pun mengaku pilih ke luar Prancis demi menghindari insiden rasisme dan diskriminasi.
"Hal yang ironis adalah bahwa Prancis membayar untuk pendidikan orang-orang ini, tetapi negara itu kehilangan talenta-talenta berkemampuan tinggi karena Islamofobia institusional yang merajalela," kata Esteves dikutip kantor berita Anadolu, Selasa (14/3/2023).
Baca Juga: Turki Terbitkan Peringatan Perjalanan, Singgung Demonstrasi Anti-Turki dan Islamofobia di Eropa
Salah satu profesional muslim yang memilih meninggalkan Prancis adalah Natasa Jevtovic, finance project manager yang pergi ke Inggris Raya pada 2020. Di London, Jevtovic mengaku diperlakukan lebih baik dan telah mendapatkan promosi beberapa kali.
Jevtovic mengaku, ia meninggalkan Prancis usai diancam manajernya di sebuah bank ternama. Ia mengaku diancam dipecat usai menuduh seorang koleganya mendiskriminasinya.
"Orang-orang (di Prancis) biasa menggunakan istilah rasis dan ketika saya meminta mereka berhenti, sejak momen itu, tidak ada yang mau makan siang dengan saya," kata Jevtovic.
"Tidak ada yang mau bicara dengan saya selama enam bulan, saya diboikot," lanjutnya.
Sementara itu, analis politik asal Prancis, Yasser Louati menyebut muslim di negara itu didiskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, perumahan, serta, dalam beberapa kasus, akses layanan kesehatan.
"Ini terlalu buruk bagi Prancis. Sejujurnya, saya salut kepada negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang memberi kesempatan adil pada para pemuda dan pemudi ini," kata Louati.
Sejak 2015, pemerintah Prancis disebut mengadopsi berbagai peraturan yang membatasi kebebasan beragama muslim. Menurut Louati, Prancis juga menutup masjid dan organisasi serta yayasan muslim "tanpa proses hukum."
Baca Juga: Usia Pensiun di Prancis Naik Jadi 64 Tahun, Demonstrasi Besar-Besaran Terjadi
Sumber : Anadolu
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.