Banyak mantan dabai yang mengatakan bahwa mereka terjebak dengan keputusan berantakan pemerintah dalam keluar dari kebijakan nol-Covid.
Setelah kota seperti Beijing, Shanghai dan Shenzhen menghapus pengujian PCR, karantina wajib, banyak pekerja kemudian menganggur.
Hal itu meningkatkan tensi antara otoritas China dan para pekerja esensial dengan keahlian rendah.
Banyak dabai yang sudah mengeluhkan kondisi lingkungan kerja yang keras, jam kerja yang terlalu lama, dan pemotongan bayaran saat pandemi virus corona masuk ke tahun ketiga.
Financial Times mengungkapkan pekerja tanpa keahlian itu dibayar 3.500 yuan atau setara Rp7,7 juta per bulan.
Sedangkan pekerja Covid-19 dengan kemampuan medis bisa memiliki empat kali lipat pendapatan tersebut.
Dabai sendiri kerap menjadi target kemarahan publik, karena dikenal sebagai simbol dari strategi represif pemerintah China dengan melarang pergerakan.
Dabai juga sering disamakan dengan pengawal merah era Mao Zedong saat Revolusi Budaya di China.
Baca Juga: Perang Tak Kunjung Usai di Ukraina Bikin Korea Utara Tunda Kirim Pekerja Bantuan untuk Rusia
Mereka kerap terekam melakukan kekerasan terhadap warga setempat.
“(Beberapa) mereka memang melakukan banyak hal yang buruk,” ujar seorang guru yang pernah secara sukarela menjadi dabai di Shanghai selama empat tahun.
Namun, ia mengaku tak terpengaruh oleh perilaku rekan kerjanya.
“Orang-orang ini mengira hanya karena mengenakan jas putih, mereka dibebaskan dari tanggung jawab,” ucapnya.
Sumber : Financial Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.