LONDON, KOMPAS.TV — Pemerintah Inggris menyatakan negara dalam keadaan resesi ekonomi, Kamis (17/11/2022), dan mengumumkan pemotongan pengeluaran publik senilai puluhan miliar poundsterling dan kenaikan pajak.
Pemotongan dan kenaikan pajak itu diharapkan mampu menambal lubang keuangan publik negara dalam upaya memulihkan kredibilitas fiskal Inggris usai bencana terjun ke dalam ekonomi trickle-down.
Menteri Keuangan Inggris Jeremy Hunt, seperti dilansir The New York Times, merinci serangkaian kenaikan dan pemotongan pajak pada program pemerintah senilai kumulatif 55 miliar pound atau sekitar Rp1.019 triliun.
Itu merupakan salah satu anggaran paling keras yang pernah diberlakukan di Inggris, sebuah negara yang sudah meluncur terjengkang ke dalam resesi.
Tujuan langsung dari rencana tersebut adalah untuk mengurangi defisit publik yang membengkak akibat pembayaran besar-besaran selama pandemi virus corona dan krisis energi.
Tetapi anggaran itu juga merupakan tindakan penyesalan fiskal setelah pemotongan pajak besar-besaran diluncurkan pada bulan September lalu oleh perdana menteri terakhir, Liz Truss.
Proposal itu mengguncang pasar, menyebabkan pound ambruk dan membuat Truss kehilangan pekerjaannya beberapa minggu kemudian.
Obat yang diresepkan oleh Hunt dan bosnya, Perdana Menteri Rishi Sunak, adalah pembalikan yang hampir sepenuhnya, dan itu akan menyakitkan secara ekonomi dan politik.
Baca Juga: KTT G20: Diplomasi Jokowi Diapresiasi Dunia, Hasil Nyata Kurangi Sentimen Resesi Global Ditunggu
Ini akan menaikkan pajak puluhan juta orang Inggris, orang kaya dan kelas pekerja, dan secara efektif memotong dana untuk Kementerian Pertahanan, bantuan luar negeri, lembaga budaya di London, dan beberapa proyek pekerjaan umum.
"Siapa pun yang mengatakan ada jawaban yang mudah, sesungguhnya tidak jujur kepada rakyat Inggris," kata Hunt dalam pidato yang diawasi ketat di depan Parlemen. "Kami ingin pajak rendah dan uang sehat, tetapi Konservatif tahu uang sehat harus didahulukan."
Jarang dalam sejarah, Inggris memiliki pemotongan anggaran yang begitu besar. Selain resesi, yang dikonfirmasi oleh Hunt pada Kamis, Inggris menderita inflasi dua digit, 11,1 persen pada bulan Oktober, kata pemerintah pada Rabu, serta melonjaknya harga bahan bakar dan kenaikan suku bunga.
Beberapa orang menunda menyalakan pemanas di rumah mereka. Yang lainnya tidak tahu bagaimana mereka dapat membayar biaya bulanan yang lebih tinggi dari hipotek mereka.
Saat Hunt berbicara, House of Commons berbelok mendecit di antara kesunyian yang mencekam, saat anggota parlemen mencerna tindakan spesifik pemerintah yang berbalas sahutan protes keras dari bangku oposisi, ketika menteri keuangan mengeklaim kesengsaraan Inggris sebagian besar merupakan warisan dari pandemi dan gangguan yang disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina.
Hunt mencoba meredam pukulan bagi warga Inggris dengan mengumumkan kenaikan upah nasional yang melindungi pekerja bergaji rendah, menjadi £10,42 per jam, dari £9,50 per jam, serta dana tambahan £3,3 miliar untuk National Health Service atau Layanan Kesehatan Nasional tahun 2023 dan 2024.
Pemerintah Inggris juga meningkatkan dan memperpanjang pajak keuntungan atau rezeki nomplok penyedia energi yang meraup keuntungan besar karena meroketnya harga minyak dan gas setelah invasi Rusia ke Ukraina. Sunak kini juga memberlakukan pajak lebih tinggi pada pembangkit listrik.
Banyak dari pemotongan pengeluaran tidak akan berlaku selama dua tahun sampai setelah pemilihan umum berikutnya, yang harus diadakan oleh Sunak pada Januari 2025.
Baca Juga: Di Tengah Ancaman Resesi 2023, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diperkirakan Cerah!
Sumber : Kompas TV/New York Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.