ISLAMABAD, KOMPAS.TV - Imran Khan, pahlawan kriket Pakistan yang berubah menjadi politisi dan kini terluka tembak di kaki dalam serangan bersenjata pada Kamis (3/11/2022), tidak menunjukkan tanda-tanda akan mundur dari politik sejak penggulingannya sebagai perdana menteri pada April lalu.
Seperti laporan Straits Times, mantan Perdana Menteri (PM) Pakistan berusia 70 tahun itu terluka ketika seorang pria menembaki konvoinya saat dia memimpin pawai protes ke Islamabad untuk menuntut pemilihan cepat.
Khan kehilangan jabatan perdana menteri di tengah frustrasi publik pada inflasi yang tinggi, meningkatnya defisit dan korupsi endemik yang dijanjikan Khan untuk dibasmi, namun belum banyak kemajuan.
Menurut ajudannya, Khan digulingkan dari jabatannya akibat kudeta yudisial oleh Mahkamah Agung yang membatalkan keputusan Khan membubarkan parlemen dan memerintahkan anggota parlemen untuk kembali ke majelis rendah.
Pembelotan dari koalisi yang berkuasa membuat Khan akhirnya kalah suara dalam pemungutan suara "mosi tidak percaya" yang mengikutinya.
Hal itu menempatkan Khan di antara daftar panjang PM terpilih Pakistan yang gagal memenuhi masa jabatan penuh mereka. Belum ada PM yang melakukannya sejak kemerdekaan pada 1947.
Pada tahun 2018, Khan berhasil menggalang rakyat negaranya di belakang visinya tentang negara yang bebas korupsi, makmur dan dihormati di luar negeri. Tetapi ketenaran dan karisma nasionalis yang berapi-api itu rupanya tidak cukup.
Ironisnya, bagi seorang politisi yang pernah dikritik karena berada di bawah kekuasaan militer yang kuat, pemecatannya terjadi di tengah tanda-tanda memburuknya hubungan antara dia dan panglima militer Jenderal Qamar Javed Bajwa.
Militer Pakistan punya peran besar, memerintah negara itu selama hampir setengah dari sejarahnya dan menguasai kendali atas beberapa lembaga ekonomi terbesar negara, saat ini menegaskan tetap netral terhadap politik.
Baca Juga: Mantan PM Pakistan Imran Khan Ditembak saat Pawai Tuntut Pemilu Digelar Lebih Awal
Tampan dan karismatik, Khan pertama kali menarik perhatian dunia kriket pada awal 1970-an sebagai bowler agresif yang bergerak cepat dengan aksi melompat yang khas.
Dia kemudian menjadi salah satu pemain serba bisa terbaik di dunia dan pahlawan di Pakistan. Khan saat itu jadi kapten tim yang berprospek suram namun memimpin hingga Piala Dunia 1992.
Setelah pensiun dari kriket tahun itu, ia menjadi terkenal karena aksi filantropinya. Ia mengumpulkan US$25 juta atau sekitar Rp393 miliar dan membuka rumah sakit kanker untuk mengenang ibunya, sebelum memasuki politik dengan pendirian Tehreek-i-Insaf PTI yang dia pimpin. Tehreek-i-Insaf adalah Partai Gerakan untuk Keadilan Pakistan, berdiri tahun 1996.
Terlepas dari ketenarannya, PTI merana di belantara politik Pakistan, tidak memenangkan kursi selain Khan selama 17 tahun.
Namun, periode ini punya momen-momen dramatisnya. Tahun 2007, Khan lolos dari tahanan rumah dengan melompati tembok di tengah tindakan keras terhadap tokoh-tokoh oposisi oleh penguasa militer Jenderal Pervez Musharraf.
Pada tahun 2011, Khan mulai menarik kerumunan besar anak muda Pakistan yang kecewa dengan korupsi endemik, kekurangan listrik kronis dan krisis pendidikan serta pengangguran.
Dia mendapat dukungan yang lebih besar di tahun-tahun berikutnya, didukung ekspatriat Pakistan berpendidikan yang meninggalkan pekerjaan mereka demi bekerja untuk partainya dan musisi pop serta aktor bergabung dengan kampanyenya.
Tujuannya, Khan mengatakan kepada para pendukungnya pada tahun 2018, adalah untuk mengubah Pakistan dari sebuah negara dengan “sekelompok kecil orang kaya dan lautan orang miskin” menjadi “contoh untuk sistem yang manusiawi, sistem yang adil, bagi dunia, tentang betapa Islaminya sebuah negara kesejahteraan”.
Tahun itu dia akhirnya menang, menandai kenaikan langka oleh pahlawan olahraga ke puncak politik. Pengamat memperingatkan, bagaimanapun, bahwa musuh terbesarnya adalah retorikanya sendiri, yang mengangkat harapan para pendukung setinggi langit.
Baca Juga: Pakistan Memanas! Eks PM Imran Khan Dijerat UU Anti-Terorisme karena Pidato
Khan lahir pada tahun 1952, putra seorang insinyur sipil. Dia menggambarkan diri sendiri sebagai anak pemalu yang tumbuh dengan empat saudara perempuan dalam keluarga Pashtun perkotaan yang makmur di Lahore, kota terbesar kedua di Pakistan.
Setelah pendidikan istimewa di Lahore, di mana keterampilan kriketnya menjadi nyata, ia melanjutkan ke Universitas Oxford di mana ia lulus dengan gelar dalam bidang Filsafat, Politik dan Ekonomi.
Ketika karir kriketnya berkembang, ia mengembangkan reputasinya sebagai playboy di London pada akhir 1970-an.
Pada tahun 1995, ia menikah dengan Jemima Goldsmith, putri taipan bisnis James Goldsmith. Pasangan itu, yang memiliki dua putra bersama, bercerai pada 2004. Pernikahan singkat kedua dengan jurnalis TV Reham Nayyar Khan juga berakhir dengan perceraian.
Pernikahan ketiganya dengan Bushra Bibi, seorang pemimpin spiritual yang dikenal Khan selama kunjungannya ke kuil abad ke-13 di Pakistan, mencerminkan minatnya yang mendalam pada tasawuf - suatu bentuk praktik Islam yang menekankan kedekatan spiritual dengan Tuhan.
Baca Juga: Imran Khan Tuding AS Aktor Utama di Balik Penggulingan Dirinya Sebagai PM Pakistan
Setelah berkuasa, Khan memulai rencananya untuk membangun negara "kesejahteraan" yang dimodelkan pada apa yang dia katakan sebagai sistem ideal yang berasal dari dunia Islam sekitar 14 abad sebelumnya.
Pemerintahannya membuat sejumlah penunjukan kunci dilakukan berdasarkan kualifikasi, dan bukan kepentingan politik. Ia berusaha untuk mereformasi perekrutan di birokrasi dan pegawai negeri.
Langkah-langkah lain terobosannya termasuk memudahkan warga untuk mengajukan pengaduan dan pengenalan layanan kesehatan universal bagi masyarakat miskin di satu provinsi, dengan rencana untuk memperluas program secara nasional. Pemerintah juga memulai proyek penanaman 10 miliar pohon untuk membalikkan deforestasi selama beberapa dekade.
Untuk meningkatkan ekonomi yang lumpuh, Khan membuat kebijakan putar balik yang signifikan dan mengamankan dana talangan IMF untuk Pakistan serta menetapkan tujuan yang tinggi, meskipun tidak terpenuhi, untuk memperluas pengumpulan pajak.
Namun, upaya anti-korupsinya dikritik keras sebagai alat untuk mengesampingkan lawan politik - banyak di antaranya dipenjara atas tuduhan korupsi.
Para jenderal Pakistan juga tetap berkuasa, di mana perwira militer, pensiunan dan yang masih aktif ditempatkan di lebih dari selusin lembaga sipil.
Sumber : Kompas TV/Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.