TOKYO, KOMPAS.TV - Penembakan eks Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe saat berpidato di jalanan pada Jumat (8/7/2022) mengejutkan seantero Negeri Matahari Terbit.
Seluruh dunia juga terkejut mengingat identiknya Jepang dengan tingkat kriminalitas rendah dan perederan senjata api yang terkontrol.
Pembunuhan Abe memicu kemarahan publik dan ikrar perlawanan baik dari politikus ataupun pers. Aksi Tetsuya Yamagami yang berujung kematian Abe dianggap serangan langsung terhadap demokrasi Jepang.
Yamagami menembak Abe pada siang hari ketika sang politikus tengah berkampanye di Nara. Beberapa jam kemudian, putra eks Menteri Luar Negeri Jepang Shintaro Abe itu dinyatakan meninggal dunia.
“Peluru itu merobek fondasi demokrasi. Kami bergetar dengan kemarahan,” demikian bunyi editorial media The Asahi Shimbun yang berhaluan liberal. The Asahi Shimbun kerap menjadi pengkritik sepak terjang politik Shinzo Abe dan partainya, Partai Demokrat Liberal (LDP), yang cenderung konservatif.
Baca Juga: Shinzo Abe Dimakamkan Hari Ini Secara Tertutup, Lihat Reaksi Dunia Atas Kematiannya
Kemarahan dan keterkejutan di sekitar pembunuhan Abe sebagian karena aksi kriminalitas amat jarang terjadi di Jepang. Bahkan, di negara ini, cukup lumrah untuk menyaksikan ponsel atau dompet tergeletak di tempat umum tanpa ada yang menyentuhnya.
Kekerasan senjata api pun terlebih jarang lagi. Khususnya dalam kurun beberapa tahun belakangan atau dengan latar belakang politis.
Situasi pembunuhan Abe juga disebut membuat peristiwa ini lebih mengejutkan. Eks PM Jepang itu dibunuh dekat stasiun kereta yang ramai, ketika berkampanye untuk pemilihan parlemen.
Di Jepang, kendati memiliki sejarah panjang dominasi satu partai dan keapatisan pemilih yang makin bertumbuh, pemilihan umum tetap dianggap serius.
Baca Juga: Ironi Hideo Kojima: Bikin Gim tentang Misinformasi, Malah Difitnah Jadi Pembunuh Shinzo Abe
Mitsuru Fukuda, profesor manajemen krisis di Universitas Nihon Tokyo, menyebut penembakan Abe adalah pembunuhan pertama pemimpin atau mantan pemimpin Jepang setelah Perang Dunia Kedua. Ia memperingatkan bahwa konsekuensi peristiwa ini bisa gawat.
“Masyarakat kita mungkin sependapat bahwa ketika politikus dan pejabat tinggi bisa ditargetkan sewaktu-waktu, maka orang-orang akan khawatir diserang hanya karena mengekspresikan pandangannya,” kata Fukuda kepada Associated Press.
Situasi Jepang yang amat kondusif berbeda dengan situasi kacau sebelum Perang Dunia Kedua. Saat itu, otoritas menuntut kepatuhan sepenuhnya dari rakyat ketika tentara Kekaisaran menyapu Benua Asia.
Masa-masa itu adalah antitesis demokrasi, waktu ketika pembunuhan, intimidasi pemerintah terhadap pembangkang, serta pembungkaman kebebasan berkumpul dan berbicara, menjadi fenomena umum.
Baca Juga: Selain Shinzo Abe, Pemimpin dan Tokoh Politik Ini Juga Tewas Dibunuh di Abad 21
Pembunuhan tokoh politik hanya beberapa hari sebelum pemilihan umum di salah satu negara paling stabil sedunia, menimbulkan kekhawatiran bahwa sesuatu yang fundamental telah berubah.
“Jepang adalah negara demokrasi, jadi pembunuhan seorang mantan perdana menteri adalah serangan terhadap kita semua. Ini adalah aksi terorisme,” tulis The Japan Times dalam editorialnya.
Politikus-politikus LDP tetap berkampanye setelah kematian Abe. Saat pemilihan pada Minggu (10/7) lalu, LDP pun menorehkan suara yang lebih besar dari perkiraan.
“Di tengah pemilihan umum kita, yang mana merupakan fondasi demokrasi, kita tidak boleh membiarkan kekerasan membungkam kebebasan berpendapat kita,” kata Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida.
Di Jepang, walaupun terdapat standar hidup dan keamanan tinggi, beberapa kali muncul aksi kekerasan ekstrem. Serangan-serangan ini kerap dilakukan oleh pelaku yang merasakan kegagalan atau isolasi.
Baca Juga: Menyeramkan! Pria Berpenampilan seperti Joker Tikam Penumpang Kereta, 17 Orang Terluka
Salah satunya adalah aksi penusukan di kereta bawah tanah Tokyo pada Oktober 2021 lalu. Seorang pria berkostum Joker menusuk seorang lansia, lalu membakar gerbong sebelum memburu penumpang lain.
Dalam konteks politik, di Jepang, pembunuhan paling mencengangkan usai Perang Dunia Kedua terjadi pada 1960. Waktu itu, Inejiro Asanuma, seorang pemimpin sosialis, diserang menggunakan pedang saat berpidato di hadapan ribuan hadirin.
Akan tetapi, untuk kekerasan senjata api, ceritanya berbeda. Jepang memiliki salah satu hukum pembatasan senjata api paling ketat sedunia.
Undang-undang ini didasarkan pada kebijakan pemerintah pendudukan Amerika Serikat (AS) pada 1946.
Kontrol yang ketat membuat insiden yang melibatkan senjata api teramat jarang di Jepang. Pada 2020, menurut data terkini dari Kementerian Hukum Jepang, polisi melakukan 21 penangkapan terkait senjata api, 12 di antaranya terkait geng kriminal.
Baca Juga: Jepang Punya Kontrol Senjata Ketat dan Tingkat Kriminalitas Rendah, Kenapa Shinzo Abe Ditembak Mati?
Kekerasan senjata api yang menyasar politikus pun teramat jarang. Di antaranya adalah pembunuhan Wali Kota Nagasaki Iccho Ito pada 2007. Pada 1994, Perdana Menteri Morihiro Hosokawa ditembak ketika berpidato, tetapi tembakan ini meleset.
Di lain sisi, profesor hubungan internasional dan politik di Universitas Kristen Internasional Tokyo, Stephen Nagy, menyebut sebagian kalangan mempertimbangkan pembunuhan Abe sebagai “insiden pelaku tunggal (lone wolf)”, bukan serangan terhadap demokrasi.
“Masalah utamanya adalah tentang vakumnya kepemimpinan yang akan muncul karena faksi politik terbesar (faksi Abe) telah kehilangan pemimpinnya dan akan berimplikasi pada perjalanan politik dalam negeri,” kata Nagy.
Keamanan untuk pemimpin politik di Jepang sendiri cenderung lebih longgar dibanding negara lain. Keamanan ketat terkadang diterapkan untuk mengawal agenda internasional yang penting atau khusus.
Baca Juga: Pengakuan Polisi Jepang atas Pembunuhan Shinzo Abe, Ada Kelemahan di Keamanan Eks PM Jepang
Pengamanan yang cenderung longgar itu sebagian dikarenakan persepsi minimnya ancaman bagi politikus.
Akan tetapi, pembunuhan Abe dapat menjadi titik perubahan pengamanan pejabat tinggi di Jepang. Negara ini terbiasa memiliki lingkungan yang cukup aman bagi politikus untuk bercakap dan berjabat tangan dengan warga biasa.
“Itu adalah lingkungan yang menyenangkan, tetapi kita mungkin akan kehilangan itu,” kata Profesor Fukuda.
“Dalam masyarakat tempat risiko pembunuhan itu realistis, level pengamanan harus ditingkatkan. Ini adalah perkembangan yang disayangkan, tetapi kita tidak bisa melindungi keamanan kita dengan cara lain,” pungkasnya.
Baca Juga: Koalisi Partai Berkuasa Jepang Kuasai Mayoritas Kursi Parlemen, Efek Pembunuhan Shinzo Abe?
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.