TEL AVIV, KOMPAS.TV - Parlemen Israel terancam bubar menyusul tekanan pada koalisi rapuh pemerintahan Perdana Menteri Naftali Bennett. Legislator akan mengadakan voting minggu depan terkait berlanjut atau tidaknya pemerintahan saat ini.
Seperti diberitakan Al Jazeera, jika parlemen benar-benar dibubarkan, Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid akan menjabat sebagai Perdana Menteri sementara hingga pemilihan umum (pemilu) diadakan kemungkinan pada akhir tahun.
Bennett yang mengumumkan voting pembubaran parlemen melalui televisi nasional, mengatakan ia sudah mengambil keputusan tepat.
"Bersama-sama, kami mengeluarkan Israel dari jurang. Kami mencapai banyak hal tahun ini. Pertama dan terpenting, kami membawa ke panggung tengah nilai-nilai keadilan dan kepercayaan," ungkap Bennett pada Senin (20/6/2022), di samping rekannya, Lapid.
Bennett dan Lapid telah berkoalisi sejak Juni 2021, mengakhiri dominasi Benjamin Netanyahu yang mendominasi pemerintahan Israel sepanjang 12 tahun terakhir.
Koalisi multikultur termasuk partai-partai liberal, Arab dan sayap kanan disebut rapuh akibat beberapa isu terkait Palestina, pendudukan di Tepi Barat dan masalah agama serta negara.
Aliansi terdiri dari delapan faksi itu retak selepas segelintir anggota memutuskan keluar. Terbaru, anggota parlemen dari Palestina menolak pemberlakuan hukum Israel di wilayah pendudukan Tepi Barat.
Namun, Al Jazeera menyebut penyebab terbesar perpecahan adalah sikap anggota garis keras yang bermasalah dengan sikap komporomi dan moderat yang ditunjukkan Bennett.
Adapun adanya isu pembubaran parlemen membuat kunjungan Presiden Amerika Serikat Joe Bidden yang diagendakan bulan depan berpotensi disambut oleh Lapid, alih-alih Bennett.
Terlepas dari itu, jika pemilu benar-benar digelar, Partai Likud garis keras yang mengusung Netanyahu diprediksi akan muncul sebagai partai tunggal terbesar.
Sumber : Al Jazeera
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.