KATHMANDU, KOMPAS.TV – Larangan ganja Nepal akan segera berakhir. Pasalnya, anggota parlemen mempertimbangkan untuk kembali ke kebijakan liberal yang pernah membuat republik Himalaya itu jaya dan menjadi tempat perhentian populer di "jalur hippie" darat.
France24 pada Jumat (29/4/2022) melaporkan, Menteri Kesehatan Nepal Birodh Khatiwada menganjurkan diakhirinya larangan tersebut. Pemerintah Nepal juga berhasil melobi PBB untuk mengklasifikasi ulang ganja dari daftar narkotika.
Setengah abad yang lalu, ribuan backpacker dari seluruh dunia pergi ke Kathmandu mencari kesenangan dengan membeli hash strain legendaris dari toko berlisensi pemerintah di "Freak Street", sebuah jalan yang dinamai untuk pengunjung asing yang berambut panjang dan tidak terawat.
Perang global Washington terhadap narkoba, dan tekanan yang menyertainya terhadap pemerintah asing, mendorong penutupan apotek di ibu kota Nepal tahun 1973. Penutupan itu bersamaan dengan larangan budidaya yang memaksa petani untuk menghancurkan dan melupakan tanaman ganja mereka.
Sekarang, seiring negara-negara Barat melonggarkan larangan mereka sendiri terhadap ganja, pemerintah dan juru kampanye reformasi hukum Nepal mengatakan sudah waktunya untuk berhenti mengkriminalisasi hasil panen ganja.
Ganja sendiri memiliki ikatan berabad-abad dengan budaya dan praktik keagamaan negara itu.
Strain Hash adalah strain tumbuhan ganja yang didominasi unsur senyawa indica, menawarkan aroma yang dalam dan kaya. Dengan campuran Afghani indica dan Northern Lights, varian ini memiliki tendangan halus di tenggorokan dan elegan, membuat penggunanya merasa senang dan gembira.
Strain ini sangat bagus untuk malam yang menyenangkan dan santai di rumah, dan banyak pengguna bersumpah merasa amboi terbuai dengan efek sedatifnya.
Ini bisa menjadi pilihan yang baik bagi siapa saja yang merindukan tidur malam yang nyenyak, juga merupakan pilihan populer bagi siapa saja yang mencari strain dengan waktu tumbuh yang singkat.
Baca Juga: Puluhan Ribu Orang Ramaikan Hari Raya Ganja di Festival Mile High 420 di Denver, Penuh Tawa dan Cuan
"Tidak dapat dibenarkan bahwa negara miskin seperti kita harus memperlakukan ganja sebagai narkotika," kata Menteri Kesehatan Nepal Birodh Khatiwada seperti dikutip France24.
"Rakyat kami sedang dihukum ... dan korupsi kami meningkat karena penyelundupan saat kami mengikuti keputusan negara maju yang sekarang melakukan apa yang mereka inginkan."
Khatiwada mensponsori mosi pertama parlemen Nepal yang mengadvokasi diakhirinya larangan pada Januari 2020, dan dua bulan kemudian sebuah RUU diajukan kepada anggota parlemen yang mencari legalisasi parsial.
Perubahan dalam pemerintahan sejak itu menghentikan kemajuan. Tetapi, bulan Desember tahun itu, Nepal mendukung kampanye agar PBB mengklasifikasikan ulang ganja dari daftar obat-obatan paling berbahaya di dunia.
Kementerian dalam negeri Nepal sejak itu meluncurkan studi tentang khasiat obat dan potensi ekspor ganja yang diharapkan dapat mendukung dorongan parlemen yang dihidupkan kembali untuk mengakhiri larangan tersebut.
"Ini adalah obat," kata aktivis terkemuka Rajiv Kafle, yang hidup dengan HIV dan mulai berkampanye untuk legalisasi ganja setelah menggunakan obat untuk mengobati gejalanya.
Kafle mengatakan, mengakhiri larangan akan menjadi "pendorong penting" bagi industri pariwisata Nepal, yang masih belum pulih dari pandemi Covid-19, dan juga akan menguntungkan warga Nepal yang menderita penyakit kronis.
Baca Juga: Thailand Jadi Negara Asia Pertama yang Legalkan Ganja
Sementara undang-undang saat ini mengizinkan ganja sebagai obat, tidak ada kerangka kerja yang ditetapkan untuk penggunaan terapeutik dan pemerintah masih memberlakukan larangan konsumsi dan perdagangan.
"Begitu banyak pasien yang menggunakannya, tetapi mereka dipaksa melakukannya secara ilegal," kata Kafle, "Mereka bisa ditangkap kapan saja."
Penegakan larangan sudah tidak merata: wisatawan yang mengunjungi tempat backpacker Nepal tidak mungkin menghadapi hukum yang panjang karena menyalakan selinting ganja di gang belakang Kathmandu.
Pihak berwenang juga melihat ke arah lain selama festival tahunan yang diadakan untuk menghormati dewa Hindu Siwa, penghancur kejahatan, yang secara teratur digambarkan menggenggam pipa chillum yang digunakan untuk menghisap ganja.
Asap ganja mengepul di sekitar halaman Kuil Pashupatinath Kathmandu setiap tahun ketika orang-orang suci berkumpul untuk merayakan dan para penyembah mengisi chillum mereka sendiri dengan "hadiah" Siwa. "Hadiah" itu, tentu saja ganja.
Tetapi di tempat lain, hukumannya keras dan ditegakkan secara teratur. Pengedar ganja berisiko hingga 10 tahun penjara dan polisi menyita dan menghancurkan ribuan tanaman ganja di seluruh negeri setiap tahun.
Larangan ganja mengganggu tradisi panjang budidaya ganja di Nepal, di mana tanaman tumbuh liar dan batang, daun, dan resinnya digunakan dalam makanan, sebagai serat pakaian atau sebagai komponen obat-obatan tradisional Ayurveda.
Baca Juga: Nenek Ini Tak Sengaja Bawa Brownies Ganja ke Acara Komunitas, Sejumlah Lansia Teler dan Keracunan
"Larangan itu menghancurkan sumber pendapatan penting di wilayah ini," seorang petani di distrik Dang barat, berbicara dengan syarat anonim.
"Itu mengabaikan fakta tentang bagaimana itu (ganja) menjadi bagian dari budaya dan kehidupan kita sehari-hari, bukan hanya ... minuman keras."
Beberapa negara Barat mengakhiri larangan mereka sendiri terhadap penggunaan ganja beberapa tahun terakhir, termasuk beberapa bagian Amerika Serikat, yang pernah mempelopori kampanye global untuk mengkriminalisasi ganja.
Di California, apotek menjual "Emas Himalaya", jenis daun surgawi yang berasal dari Nepal dan mengingatkan pada asosiasi bersejarah negara itu dengan budaya ganja.
Perdagangan ganja yang diperbarui, menyesuaikan dengan permintaan ekspor yang berkembang dan mengambil keuntungan dari "nilai merek internasional" Nepal terkait ganja Himalaya dapat terbukti sangat menguntungkan, kata Barry Bialek, seorang dokter yang bekerja di pusat penelitian ganja di Universitas Kathmandu.
"Sebagai tanaman komersial, itu bisa bagus secara lokal dan juga di pasar global," katanya, "(Tanaman) ini bisa menjadi pemimpin di dunia."
Sumber : France24
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.