JAKARTA, KOMPAS.TV - Dalam deretan sastrawan angkatan 45, nama Utuy Tatang Sontani termasuk di antaranya bersama Pramoedya Ananta Toer, Idrus dan Mochtar Lubis. Lahir di Cianjur, Jawa Barat pada 13 Mei 1920, Utuy terkenal karena karya-karyanya seperti Bunga Rumah Makan, Tambera, dan Awal dan Mira.
Namun dalam perjalanan kariernya sebagai penulis, Utuy terseret dalam pusaran konflik ideologi di Indonesia yang berkecamuk pada tahun 1960-an. Utuy terlibat dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat alias Lekra yang merupakan organisasi di bawah PKI (Partai Komunis Indonesia).
Sastrawan Ajip Rosidi yang merupakan sahabat dekat Utuy mengatakan bahwa keterlibatan Utuy di Lekra dan kemudian masuk PKI, bukan karena soal ideologi komunismenya. Tapi lebih karena pertemanan dengan tokoh-tokoh PKI seperti Aidit dan Nyoto.
Dalam pengantar buku "Di Bawah Langit Tak Berbintang" Ajip menulis, " Keterlibatan dalam kegiatan Lekra, menurut hemat saya hanyalah karena ia tanpa mengerti akan situasinya, terseret oleh hubungan-hubungan pribadi dengan tokoh-tokoh Lekra yang menjadi sahabatnya seperti Hendra Gunawan," tulis Ajip.
Bahkan, ternyata, Utuy juga sudah kenal lebih awal dengan Aidit di zaman Jepang. "Pada waktu itu saya tidak tahu bahwa Utuy sudah lama mengenal secara pribadi D.N Aidit, Ketua PKI, dan bahwa kegiatannya dalam Lekra itu ada hubungannya dengan persepakatan dengan Aidit secara pribadi pula," kata Ajip.
Baca Juga: Serbuan Besar-besaran Rusia ke Ukraina Timur Dimulai
Kedekatan dengan PKI yang membuat Utuy diundang ke China dalam rangka memperingati perayaan 1 Oktober 1965. Utuy sendiri mau berangkat karena ingin berobat di China.
Namun, peristiwa G 30 S meletus di Indonesia. Utuy yang berada di China tak bisa pulang ke tanah air. Rupanya di China dia tidak betah. Salah satunya, dia menolak disiplin partai komunis China yang dipaksakan kepadanya.
Di tengah kesehatan yang memburuk dan lingkungan yang asing, Utuy mendapat izin berobat ke Belanda pada Oktober 1973. Kereta Trans-Siberia yang ia tumpangi dari Beijing lewat di Moskow. Namun sebelum tiba di Belanda dia memutuskan untuk turun di ibu kota Rusia itu.
Di Moskow, awalnya Utuy menempati sebuah flat di kawasan tenang Rayon Zyuzino, barat daya Moskow. Di sini pun tak ada orang yang dia kenal. Hanya sambutan hangat orang-orang yang membuatnya bisa menjadi pengajar bahasa Indonesia dan literatur di Institut Asia dan Afrika di Universitas Negeri Moskow.
Sebagai orang pelarian, Utuy tak bisa pulang ke tanah air. Dia meninggal di Moskow pada 1979 dan dimakamkan secara Islam di pemakaman Islam di sana.
Pada 2018, BBC melaporkan seorang warganet Rusia bernama Pavel Serin yang menemukan makam Utuy. Tepatnya berada di pekuburan Mitino, Moskow.
Baca Juga: Rusia Sorot Peningkatan Aktivitas NATO di Arktik: Bisa Berujung Bentrok yang ‘Tak Disengaja’
"Dari jauh sudah kelihatan nisannya. Makamnya kotor dan penuh tanah. Semua tertutup daun yang gugur," kata Pavel, menceritakan kembali pertemuan dengan makam Utuy, penulis yang kemudian menjadi favoritnya.
"Saya merasa kasihan. Tidak pernah ada yang datang," kata Pavel yang pernah kuliah di Indonesia ini.
Menurut Ajip, pihak keluarga pernah meminta agar jasad Utuy bisa dibawa pulang ke tanah air. Namun pemerintah kala itu di era Presiden Soeharto tidak mengizinkan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.