KIEV, KOMPAS.TV - Kremlin dituduh telah merekrut anak-anak untuk dijadikan tentara anak demi meningkatkan jumlah pasukan di Ukraina timur.
Rusia dikatakan telah merekrut anak-anak tersebut dari klub pemuda dan wajib militer berusia 16 tahun.
Menurut Pejabat Hak Asasi Manusia (HAM), tentara anak itu dimaksudkan untuk mengganti tentara Rusia yang terbunuh, terluka atau tertangkap pada pertempuran di Ukraina.
Tuduhan itu muncul setelah pejabat Ukraina meminta PBB untuk menginvestigasi Rusia terkait penggunaan tentara anak.
Baca Juga: Bertemu di Rusia, Kanselir Austria Sebut Putin Merasa Telah Menang Perang di Ukraina
Menurut organisasi HAM, anak-anak itu menjalani latihan militer dan bisa dikirimkan ke garis depan.
Kemungkinan hal itu bertentangan dengan keinginan mereka.
Beberapa bahkan mungkin telah didorong untuk berperang dan kehilangan nyawa dalam pertempuran.
Laporan juga menunjukkan lencana taruna militer Rusia, yang seharusnya tak dikerahkan ke zona perang, telah ditemukan di area pertempuran di Ukraina.
“Otoritas pendudukan (Luhansk dan Donetsk) telah melakukan mobilisasi anak-anak yang berpartisipasi dalam apa yang disebut klub patriotik, hingga level formasi senjata legal,” tutur Komisaris HAM Parlemen Ukraina, Lyudmyla Denisova dikutip dari Daily Mail.
“Mereka melakukan latihan militer dan ada kematian di antara pemuda itu (di Ukraina). Kini mereka dipromosikan untuk masuk ke tentara sipil, termasuk anak-anak di wilayah pendudukan sementara,” ujarnya.
Baca Juga: Zelenskyy Minta Dunia Kecam Penyiksaan dan Penculikan yang Dilakukan Rusia
Denisova pun menegaskan, Federasi Rusia telah melanggar hukum dan kebiasaan perang yang diatur Konvensi Jenewa 1949, tentang perlindungan warga sipoil dan hak-hak anak.
“Perekrutan anak telah melanggar hukum internasional,” ujarnya.
Klub patriotik tersebar di daerah pendudukan Rusia di Ukraina timur, menyusul invasi 2014, yang menjadi kampanye untuk mempromosikan budaya di Luhansk dan Donetsk.
Klub itu juga digambarkan sebagai pusat indoktrinasi. Program tersebut dimulai pada 2015, setahun setelah invasi Rusia ke Luhansk dan Donetsk.
Sumber : Daily Mail
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.