TUNIS, KOMPAS.TV – Anggota parlemen Tunisia hari Rabu, (30/3/2022) mengatakan mereka akan menentang presiden Tunisia Kais Saied saat melaksanakan sidang paripurna pertama, seperti dilaporkan Antara, Rabu, (30/3/2022)
Sejak musim panas lalu, Presiden Kais Saied membekukan parlemen dan memerintah sendirian hingga saat ini.
Sidang paripurna parlemen Tunisia ini akan dilaksanakan secara daring dan lebih dari separuh anggota parlemen diharapkan hadir untuk pemungutan suara menentang ‘langkah-langkah luar biasa’ yang digunakan Presiden Saied sejak bulan Juli.
Karena memerintah sendirian sejak Juli tahun lalu, tindakan Saied itu dianggap mengesampingkan konstitusi demokratis tahun 2014.
Seperti dilansir Africanews, Rabu, (30/3/2022), Presiden Kais Saied menganggap sidang tersebut ilegal, dan menuduh mereka yang bertanggung jawab ingin menyebarkan kekacauan.
"Apa yang terjadi hari ini, yang disebut 'pertemuan virtual' adalah ilegal, karena parlemen dan bironya dibekukan'. Negara hanya akan pulih melalui peradilan yang independen, namun ditentang mereka yang mencoba untuk melemahkan Negara, dan mereka yang mati-matian mencoba untuk melakukan kudeta", tuduh presiden Tunisia, Kais Saied.
Baca Juga: Tunisia Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Mantan Presiden Moncef Marzouki
Saied hari Senin malam mengeluarkan peringatan keras, angkatan bersenjata akan menghadapi "mereka yang mendorong rakyat Tunisia untuk berperang".
Meski sidang parlemen itu mungkin akan memperlihatkan meningkatnya penentangan terhadap Saied dan legitimasi gerakannya, sidang itu tidak akan mengubah cengkeraman Saied pada kekuasaan.
"Kami akan melanjutkan sidang yang dinantikan dan tidak takut membela lembaga yang sah," kata Yamina Zoglami, anggota parlemen dari Ennahda yang Islamis moderat.
"Rakyat tidak menarik kepercayaan dari kami. Presiden menutup parlemen dengan tank."
Meningkatnya kepercayaan diri parlemen mencerminkan penentangan yang meluas terhadap Saied ketika ia mencoba untuk merevisi konstitusi, seraya mengambil alih peradilan dan memberlakukan pembatasan baru pada masyarakat sipil.
Ennahda adalah partai terbesar di parlemen dengan seperempat jumlah kursi dan pemimpinnya Rached Ghannouchi menjadi ketua parlemen dan pengkritik Saied paling lantang.
Baca Juga: Presiden Tunisia Ingin Para Miliarder Korup Tukar Penjara dengan Bangun Daerah Miskin
Meskipun partai-partai politik tetap terbelah satu sama lain, lebih banyak dari parpol itu sekarang secara terbuka berunjuk rasa menentang Saied dan menuntut dia mengadopsi pendekatan inklusif pada upaya merestrukturisasi politik negara.
Tunisia melengserkan pemerintahan otokratis dalam revolusi 2011 dan memperkenalkan demokrasi, tapi sistemnya yang membagi kekuasaan antara presiden dan parlemen terbukti tidak populer setelah bertahun-tahun mengalami kelumpuhan politik dan stagnasi ekonomi.
Saied, seorang pendatang baru politik dan profesor hukum tata negara, terpilih tahun 2019 dalam kemenangan telak putaran kedua melawan seorang taipan media yang menghadapi tuduhan korupsi, dimana saat itu Saied berjanji untuk membersihkan politik Tunisia.
Para pengkritiknya menuduh Saied melakukan kudeta musim panas lalu ketika dia menggulingkan parlemen terpilih dan beralih memerintah sendirian. Para pengritik itu mengatakan reformasi politik Saied kurang kredibel.
Ketika ekonomi bergerak menuju bencana dan pemerintah mencari talangan internasional serta serikat pekerja memperingatkan pemogokan umum, banyak orang Tunisia menjadi kecewa dengan fokus Saied pada perubahan konstitusi.
Namun, intervensi Saied musim panas lalu tampaknya sangat populer di negara yang muak dengan pertengkaran politik yang menjadi ciri era demokrasi ketika lapangan kerja semakin langka dan layanan publik menurun.
Sumber : Kompas TV/Antara/Africa News
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.