NEW YORK, KOMPAS.TV — Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan lebih dari 100 tentara telah tewas sejak Taliban mengambilalih Afghanistan, 15 Agustus silam. Tentara yang tewas terdiri dari mantan tantara pemerintah Afghanistan dan pasukan kemanan internasional.
Dalam sebuah laporan yang didapatkan pada Minggu (30/1/2022), Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa lebih dari dua pertiga korban diduga tewas akibat pembunuhan di luar proses hukum oleh Taliban atau afiliasinya.
Misi politik PBB di Afghanistan juga menerima “tuduhan yang dapat dipercaya tentang pembunuhan di luar proses hukum terhadap sedikitnya 50 orang yang diduga berafiliasi dengan ISIL-KP," yaitu kelompok ekstremis ISIS yang beroperasi di Afghanistan.
Baca Juga: Tak Kapok, Pelajar yang Terdampar di Afghanistan saat Taliban Berkuasa Ingin Berlibur ke Ukraina
Dia menambahkan bahwa terlepas dari jaminan Taliban, misi politik PBB telah menerima tuduhan yang kredibel tentang adanya penghilangan paksa dan pelanggaran lain yang berdampak pada hak untuk hidup dan integritas fisik dari mantan anggota pemerintah dan koalisi.
Guterres mengatakan para pembela hak asasi manusia dan pekerja media juga terus diserang, diintimidasi, dilecehkan dan ditangkap secara sewenang-wenang. Mereka mendapatkan perlakuan buruk dan bahkan dibunuh.
“Delapan aktivis masyarakat sipil tewas, termasuk tiga oleh Taliban dan tiga oleh ekstrimis ISIS. Sedangkan 10 orang lainnya menjadi sasaran penangkapan sementara, pemukulan dan ancaman oleh Taliban,” katanya seperti dikutip dari The Associated Press.
Selain itu dua wartawan tewas, satu oleh ISIS dan dua terluka oleh pria bersenjata tak dikenal.
Baca Juga: Taliban Didesak Selidiki Hilangnya Aktivis-Aktivis Perempuan Afghanistan
Sekretaris Jenderal mengatakan misi PBB mendokumentasikan 44 kasus penangkapan sementara, pemukulan dan ancaman intimidasi, 42 di antaranya dilakukan oleh Taliban.
Taliban menguasai sebagian besar Afghanistan ketika pasukan AS dan NATO berada di tahap akhir penarikan mereka yang kacau dari negara itu. Mereka memasuki Kabul pada 15 Agustus tanpa perlawanan dari tentara Afghanistan. Presiden berkuasa di Afghanistan pada saat itu, Ashraf Ghani, melarikan diri ke luar negeri.
Taliban awalnya menjanjikan amnesti umum bagi mereka yang terkait dengan mantan pemerintah dan pasukan internasional, serta toleransi dan inklusivitas terhadap perempuan dan etnis minoritas.
Namun, Taliban telah memperbaharui pembatasan pada perempuan dan menunjuk pemerintahan yang seluruhnya laki-laki. Kebijakan ini menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat internasional.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.