JENEWA, KOMPAS.TV - Komite Palang Merah Internasional ICRC menjadi korban serangan siber besar-besaran, di mana para peretas mencuri data lebih dari 515.000 orang yang sangat rentan, yang sebagian di antaranya melarikan diri dari konflik, demikian pengumuman ICRC hari Rabu, (19/1/2022).
"Serangan keamanan siber yang canggih terhadap server komputer, yang menyimpan informasi Komite Palang Merah Internasional terdeteksi minggu ini," bunyi pernyataan Komite yang dikutip Straits Times pada hari Kamis, (20/1/2022). "Serangan itu membahayakan data pribadi dan informasi rahasia pada lebih dari 515.000 orang yang sangat rentan, termasuk mereka yang terpisah dari keluarga mereka karena konflik, migrasi dan bencana, orang hilang dan keluarga mereka, dan orang-orang dalam tahanan."
Badan, yang bermarkas di Jenewa, tersebut tidak memiliki indikasi langsung mengenai siapa pelaku serangan.
Dikatakan, para peretas menargetkan perusahaan eksternal di Swiss yang dikontrak ICRC untuk menyimpan data. Sejauh ini belum ada bukti informasi yang dicuri, bocor atau masuk ke domain publik.
ICRC mengatakan "keprihatinannya yang paling mendesak" adalah "potensi risiko atas perbuatan tersebut, seperti bocornya informasi rahasia kepada publik, orang-orang yang berusaha dilindungi dan dibantu oleh jaringan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, serta keluarga mereka".
Data tersebut berasal dari setidaknya 60 Perhimpunan Nasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di seluruh dunia.
Baca Juga: ICRC Sediakan Layanan Pemulihan Hubungan Keluarga
“Serangan terhadap data orang yang hilang membuat penderitaan keluarga semakin sulit untuk ditanggung. Kami semua terkejut dan bingung bahwa informasi kemanusiaan ini jadi target dan diretas,” kata direktur jenderal ICRC Robert Mardini.
"Serangan dunia maya ini menempatkan orang-orang yang rentan, yaitu mereka yang membutuhkan layanan kemanusiaan, pada risiko lebih jauh."
Dan Mardinin meminta mereka yang bertanggung jawab untuk "melakukan hal yang benar, yaitu jangan membagikan, menjual, membocorkan, atau menggunakan data ini".
"Tindakan Anda berpotensi menyebabkan lebih banyak kerusakan dan rasa sakit bagi mereka yang telah mengalami penderitaan yang tak terhitung," tambahnya.
Akibat serangan itu, dalam pernyataan itu, ICRC terpaksa mematikan sistem komputer yang mendukung program Restoring Family Links, yang berupaya menyatukan kembali anggota keluarga yang terpisah oleh konflik, bencana atau migrasi.
"Kami bekerja secepat mungkin mencari solusi untuk melanjutkan pekerjaan penting ini," tambahnya.
Sumber : Kompas TV/Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.