GLASGOW, KOMPAS.TV - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati berbagi cerita soal dinamika cuaca ekstrem Indonesia dalam dalam forum 26th UN Climate Change Conference of Parties (COP26 UNFCCC) di Glasgow, Skotlandia.
Konferensi iklim COP26 tersebut berlangsung dari 31 Oktober hingga 12 November 2021.
Dalam presentasi pada 2 November, Dwikorita mengatakan, dinamika di Indonesia sangat dikontrol oleh wilayah di belahan dunia lain.
Sehingga, lanjut Dwikorita, Indonesia melalui BMKG harus sigap dalam melakukan upaya mitigasi terhadap dampak perubahan iklim pada hidrometeorologi ekstrem.
Dwikorita menyebut upaya tersebut penting mengingat wilayah Indonesia berhadapan dengan kompleksitas meteorologi, iklim, dan cuaca.
Dalam kasus cuaca dan hujan ekstrem, Dwikorita mencontohkan yang pernah terjadi pada Januari 2020. Pada peristiwa tersebut, intensitas hujan di Jakarta mencapai 377 milimeter hanya beberapa jam.
"Ini diakibatkan cold surge sebagai hasil adanya celah tekanan antara dataran tinggi Tibet, dengan Hongkong yang mengarah langsung ke wilayah barat daya Indonesia," terang Dwikorita dalam keterang tertulisnya, dikutip pada Kamis (11/11/2021).
Baca Juga: Cuaca Buruk dan Hama Jamur Merusak Hasil Panen Cabai, Petani Merugi Hingga 50 Persen!
Tak hanya intensitas hujan, Dwikorita juga menyebut terjadinya peningkatan karbondioksida (CO2).
Dia mengatakan bahwa rata-rata peningkatan CO2 di Indonesia yaitu 2 ppm per tahun.
"Rata-rata (CO2) di Indonesia yaitu 411 dan rata-rata global adalah 415. Data tersebut diukur pada Januari 2021. Tetapi, peningkatan CO2 berada pada tren yang sama dengan global," ucap dia.
Pemanasan global juga berdampak pada kemunculan angin topan tropis. Pada lima tahun terakhir, intensitas angin topan tropis menjadi lebih sering dari pada sebelumnya.
Salah satu yang berdampak yaitu Siklon Tropis Seroja. "Jadi ini berhubungan dengan peningkatan temperatur laut Indonesia yang mana pada saat itu mendekati 30 derajat Celcius. Normalnya adalah sekitar 26 derajat Celcius. Dan siklon tropis ini berada di garis lintang 10 derajat, dimana biasanya siklon tropis tidak sanggup mencapai lintang tersebut," ucap dia.
Untuk itu, mitigasi menjadi salah satu langkah antisipasi. BMKG telah meletakan ribuan alat observasi berupa sensor, satelit, dan radar di seluruh Indonesia.
Data yang dihasilkan alat observasi itu kemudian di analisis secara otomatis oleh kecedasan buatan.
"Lalu hasil prakiraan cuaca dan peringatan dini secara otomatis disebar melalui mekanisme digital," kata dia.
Baca Juga: 200 Warga Terdampak Banjir di Jember, Akses Menuju Gunung Gambir Tertutup Longsor
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.