GLASGOW, KOMPAS.TV – Perubahan iklim bisa diibaratkan seperti ular boa yang perlahan membelit dan meremuk mangsanya hingga tewas.
Selama tiga dekade belakangan, perubahan iklim pun berubah pelan-pelan dari isu kelas ecek-ecek yang tak nyaman jadi masalah global yang mengancam jiwa.
Meskipun negara-negara di dunia terus memperbarui komitmen memerangi perubahan iklim jelang KTT Perubahan Iklim PBB alias COP26, bumi terus mengalami peningkatan suhu hingga setidaknya 2,7 derajat Celsius abad ini, bahkan jika Perjanjian Paris berhasil terpenuhi. Ini, jelas membahayakan.
Baca Juga: UNFCCC: Gagalnya KTT COP26 Glasgow akan Antar Dunia ke Kekacauan dan Konflik akibat Perubahan Iklim
Fakta ilmiahnya jelas: kenaikan suhu dalam skala sebesar itu pada akhir abad ini dapat berarti kerusakan yang sungguh masif.
Di antaranya, peningkatan suhu sebesar 62 persen di area yang hangus oleh kebakaran hutan di Belahan Bumi Utara selama musim panas, hilangnya habitat sepertiga mamalia di dunia, dan lebih seringnya terjadi kekeringan selama 4 – 10 bulan.
Baca Juga: Bagi Petani Melarat Afghanistan, Dampak Perubahan Iklim Lebih Mengerikan daripada Perang
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres meradang, dan blak-blakan menyebut kehancuran itu sebagai “malapetaka iklim”.
Bencana dalam tingkat mematikan itu pun sudah dirasakan di wilayah paling rentan di dunia seperti di sub-Sahara Afrika.
Pun, negara-negara kepulauan kecil yang terancam tenggelam oleh naiknya permukaan air laut.
Jutaan orang tewas dan jutaan lainnya terpaksa mengungsi akibat bencana yang dipicu oleh perubahan iklim.
Bagi Guterres, juga ratusan ilmuwan yang tergabung dalam Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, skenario pemanasan 1,5 derajat Celsius adalah “satu-satunya masa depan layak huni bagi umat manusia”.
Baca Juga: India Tuntut Kompensasi dan Pembayaran dari Negara Kaya atas Dampak Perubahan Iklim
Waktu terus bergulir, dan agar dapat memiliki peluang membatasi kenaikan suhu itu, dunia perlu dan harus mengurangi separuh emisi gas rumah kaca dalam delapan tahun ke depan.
Ini tugas besar yang hanya dapat dilakukan jika para pemimpin yang menghadiri COP26, datang dengan rencana awal yang berani dan terikat waktu untuk menghapus batu bara secara bertahap dan mengubah ekonomi untuk mencapai apa yang disebut sebagai “bebas emisi karbon”.
Itulah alasan mengapa COP26 disebut sebagai kesempatan terakhir membalikkan keadaan dalam memerangi perubahan iklim demi masa depan umat manusia yang layak huni.
Sumber : UN News
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.