JAKARTA, KOMPAS.TV — Tentara junta militer di pedesaan Myanmar memelintir kulit pemuda itu dengan tang dan menendang dadanya hingga tak bisa bernapas.
Kemudian mereka mengejeknya tentang keluarganya sampai hatinya juga sakit: "Ibumu," mereka mencemooh, "tidak bisa menyelamatkanmu lagi."
Pemuda itu dan temannya, ditangkap secara acak saat mereka mengendarai sepeda untuk pulang ke rumah, menjadi sasaran penderitaan berjam-jam di dalam balai kota yang diubah oleh militer menjadi pusat penyiksaan.
“Tidak ada jeda – (penyiksaan itu) konstan,” katanya. "Aku hanya memikirkan ibuku."
The Associated Press (AP) melakukan penyelidikan dan dalam wawancara dengan 28 orang yang dipenjara dan dibebaskan dalam beberapa bulan terakhir menemukan, sejak kudeta militer yang menggulingkan pemerintah sipil pada Februari, militer Myanmar menangkap dan menyiksa tahanan di seluruh negeri dengan cara yang metodis dan sistemik.
Berdasarkan bukti foto, sketsa dan surat, bersama dengan kesaksian dari tiga perwira militer yang baru saja membelot, penyelidikan AP memberikan tampilan paling komprehensif tentang sistem penahanan junta militer yang sangat rahasia dan telah menahan lebih dari 9.000 orang.
Junta militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw bersama polisi membunuh lebih dari 1.200 orang rakyatnya sendiri sejak Februari lalu.
Sementara sebagian besar penyiksaan terjadi di dalam kompleks militer, Tatmadaw juga telah mengubah fasilitas umum seperti balai kota dan istana kerajaan menjadi pusat interogasi, kata para tahanan.
AP mengidentifikasi selusin pusat interogasi yang digunakan di seluruh Myanmar, selain penjara dan penjara polisi, berdasarkan wawancara dan citra satelit.
Tahanan junta militer datang dari setiap sudut negara, dari berbagai kelompok etnis, dari seorang perempuan muda kecil berusia 13 hingga 16 tahun sampai kalangan biksu.
Beberapa ditahan karena memprotes militer, yang lain ditahan tanpa alasan yang jelas. Beberapa unit militer dan polisi terlibat dalam interogasi, sementara metode penyiksaan mereka serupa di seluruh Myanmar.
AP tidak mengungkapkan nama-nama tahanan yang menjadi narasumber dan memilih menggunakan nama lain, untuk melindungi mereka dari pembalasan oleh militer.
Baca Juga: Jokowi di KTT ASEAN: Myanmar Tak Diundang adalah Keputusan Sulit yang Harus Dilakukan
Di dalam balai kota malam itu, tentara memaksa pemuda itu untuk berlutut di atas batu tajam, memasukkan pistol ke mulutnya dan menggebukkan tongkat di atas tulang keringnya. Mereka menampar wajahnya dengan sandal jepit Nike milik tahanan sendiri.
"Katakan padaku! Katakan padaku!" mereka berteriak. “Apa yang harus aku katakan padamu?” dia menjawab tanpa daya.
Dia menolak untuk berteriak. Namun temannya berteriak mengatasnamakan dirinya, setelah menyadari hal itu menenangkan para interogator.
Militer Myanmar memiliki sejarah panjang penyiksaan, terutama sebelum negara itu mulai bertransisi menuju demokrasi pada 2010.
Beberapa tahun terakhir sebelum kudeta, penyiksaan militer paling sering tercatat di wilayah etnis yang berkonflik dengan pemerintah pusat, namun kini penyiksaan hadir kembali ke seluruh negeri.
Sebagian besar teknik penyiksaan yang dijelaskan oleh para tahanan serupa dengan teknik-teknik di masa lalu, termasuk larangan tidur, pembatasan makanan dan air bersih; sengatan listrik; dipaksa untuk melompat seperti katak, dan pemukulan tanpa henti dengan tongkat bambu yang diisi semen, dengan pentungan, tinju dan sepatu para tahanan itu sendiri.
Tapi dalam kudeta militer kali ini, penyiksaan yang dilakukan di dalam pusat interogasi dan penjara adalah yang terburuk, dalam skala dan tingkat keparahan, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, yang memantau kematian dan penangkapan rakyat Myanmar.
Sejak Februari, kata kelompok itu, pasukan keamanan telah membunuh 1.218 orang, termasuk setidaknya 131 tahanan yang disiksa sampai mati.
Baca Juga: Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Desak Pimpinan Junta Mundur dan Kembalikan Kekuasaan kepada Suu Kyi
Penyiksaan sering dimulai di jalan atau di rumah tahanan, dan beberapa meninggal bahkan sebelum mencapai pusat interogasi, kata Ko Bo Kyi, sekretaris bersama AAPP dan mantan tahanan politik.
“Militer menyiksa tahanan, pertama untuk balas dendam, kemudian untuk informasi,” katanya. “Saya pikir dalam banyak hal militer (saat ini) menjadi lebih brutal.”
Militer mengambil langkah-langkah untuk menyembunyikan bukti penyiksaannya. Seorang pembantu pejabat tinggi militer di negara bagian Chin di Myanmar barat mengatakan kepada AP bahwa tentara menutupi kematian dua tahanan yang disiksa, dengan memaksa seorang dokter militer untuk memalsukan laporan autopsi mereka.
Mantan kapten tentara yang membelot dari Tatmadaw pada April memastikan penggunaan penyiksaan oleh militer terhadap tahanan telah merajalela sejak kudeta militer.
“Di negara kami, setelah ditangkap secara tidak adil, penyiksaan, kekerasan, dan penyerangan seksual terjadi terus-menerus,” kata Lin Htet Aung, mantan perwira menengah berpangkat kapten.
“Bahkan seorang tawanan perang perlu diperlakukan dan diurus berdasarkan hukum. Semua itu hilang dengan kudeta. …dan Dunia harus tahu.” Kata Htet Aung
Lin Htet Aung mengatakan kepada AP, taktik interogasi adalah bagian dari pelatihan militer, yang melibatkan teori dan permainan peran.
Dia dan mantan kapten tentara lainnya yang baru-baru ini membelot mengatakan bahwa pedoman umum dari atasan adalah, sederhananya: Kami tidak peduli bagaimana kamu mendapatkan informasi, selama kamu mendapatkannya.
Setelah menerima permintaan komentar yang terperinci, pejabat militer menanggapi dengan email satu baris yang mengatakan, “Kami tidak memiliki rencana untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tidak masuk akal ini.”
Baca Juga: Hakim Myanmar Larang Kesaksian Aung San Suu Kyi Disiarkan ke Publik
Pekan lalu, dalam upaya nyata untuk memperbaiki citranya, militer mengumumkan lebih dari 1.300 tahanan akan dibebaskan dari penjara dan dakwaan terhadap 4.320 lainnya yang menunggu persidangan akan ditangguhkan.
Tetapi tidak jelas berapa banyak yang benar-benar telah dibebaskan dan berapa banyak dari mereka yang telah ditangkap kembali.
Semua kecuali enam tahanan yang diwawancarai AP menjadi sasaran pelecehan, termasuk perempuan dan anak-anak. Sebagian besar dari mereka yang tidak dianiaya mengatakan kawan tahanan mereka dianiaya interogator mereka
Dalam dua kasus, penyiksaan digunakan untuk mendapatkan pengakuan palsu. Beberapa tahanan dipaksa untuk menandatangani pernyataan yang menjanjikan kepatuhan kepada militer sebelum mereka dibebaskan.
Seorang perempuan menurut laporan, disuruh menandatangani secarik kertas kosong.
Semua tahanan diwawancarai secara terpisah oleh AP. Mereka yang ditahan di pusat yang sama memberikan penjelasan yang sama tentang perawatan dan kondisi, mulai dari metode interogasi hingga tata letak sel mereka hingga makanan yang disediakan — itupun jika ada.
AP juga mengirimkan foto-foto luka beberapa korban penyiksaan ke ahli patologi forensik di Physicians for Human Rights.
Ahli patologi menyimpulkan luka pada tiga korban konsisten dengan pemukulan dengan tongkat atau pentungan.
"Anda melihat beberapa dari luka-luka berwarna hitam dan biru dari satu ujung ke ujung lainnya," kata ahli patologi forensik Dr.Lindsey Thomas. “Ini bukan hanya sebuah pukulan. Ini memiliki penampilan sesuatu yang sangat sistematis dan kuat.”
Baca Juga: Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Desak Pimpinan Junta Mundur dan Kembalikan Kekuasaan kepada Suu Kyi
Di luar 28 tahanan, AP mewawancarai saudara perempuan seorang tahanan yang diduga disiksa sampai mati, termasuk keluarga dan teman-teman tahanan saat ini, dan pengacara yang mewakili tahanan.
AP juga memperoleh sketsa yang digambar para tahanan tentang interior penjara dan pusat interogasi, dan surat kepada keluarga dan teman mereka yang menggambarkan kondisi dan penyiksaan yang mengerikan bagi warga sipil, termasuk perempuan muda di bawah umur.
Foto-foto yang diambil di dalam beberapa fasilitas penahanan dan interogasi memastikan laporan tahanan tentang kepadatan pusat penahanan dan kotornya tempat-tempat tersebut.
Sebagian besar narapidana tidur di lantai beton, berdesakan begitu rapat sehingga mereka bahkan tidak bisa menekuk lutut.
Beberapa menjadi sakit karena meminum air kotor yang hanya tersedia dari toilet bersama. Yang lain harus buang air besar ke dalam kantong plastik atau ember bersama. Kecoak mengerumuni tubuh mereka di malam hari.
Bantuan medis hanya ada sedikit, dan kerap bahkan hampir tidak ada. Seorang tahanan menggambarkan usahanya yang gagal untuk mendapatkan perawatan bagi teman satu selnya yang berusia 18 tahun, yang alat kelaminnya berulang kali dihancurkan di antara batu bata dan sepatu bot interogator.
Bahkan kaum muda pun tidak luput. Seorang perempuan dipenjara bersama bayi berusia 2 tahun.
Perempuan lain yang ditahan di sel isolasi penjara Insein yang terkenal di Yangon mengatakan, para pejabat mengakui kepadanya bahwa kondisi dibuat seburuk mungkin untuk menakuti publik agar patuh.
Baca Juga: Ribuan Tahanan Politik Myanmar Dibebaskan, tapi Beberapa Diantaranya lalu Ditangkap Lagi
Di tengah keadaan ini, Covid-19 menyapu beberapa fasilitas tahanan junta militer Myanmar, dengan hasil yang mematikan. Seorang perempuan yang ditahan di Insein mengatakan virus itu membunuh teman satu selnya. “Saya (saat itu) terinfeksi. Seluruh penjara terinfeksi. Semua orang kehilangan indra penciuman mereka,” katanya.
Pusat interogasi bahkan lebih buruk daripada penjara, dimana malam hari diisi hiruk-pikuk tangisan dan ratapan kesakitan.
“Itu menakutkan. Selku berisi noda darah dan goresan di dinding,” kenang seorang pria. "Saya bisa melihat noda, cap telapak tangan berwarna darah dan noda muntah amis darah di sudut ruangan."
Sepanjang wawancara, impunitas Tatmadaw tergambar jelas. “Mereka akan menyiksa kami sampai mereka mendapatkan jawaban yang mereka inginkan,” kata seorang remaja berusia 21 tahun.
“Mereka selalu memberi tahu kami, 'Di sini, di pusat interogasi militer, kami tidak memiliki undang-undang. Kami punya senjata, dan kami bisa membunuhmu dan membuatmu menghilang jika kami mau — dan tidak ada yang akan tahu.’”
Para tahanan yang disiksa sudah mati ketika tentara mulai menempelkan infus glukosa pada mayat agar terlihat seperti mereka masih hidup, kata pembelot militer kepada AP.
Itu adalah salah satu dari banyak contoh yang ditemukan AP tentang bagaimana junta militer berusaha menyembunyikan tindak kriminal mereka.
Penyiksaan tersebar luas di seluruh fasilitas penahanan, kata Sersan Hin Lian Piang, yang menjabat sebagai wakil Komandan Wilayah Barat Laut sebelum membelot pada bulan Oktober.
“Mereka menangkap, memukul dan menyiksa terlalu banyak,” katanya. "Mereka melakukannya kepada semua orang yang ditangkap."
Baca Juga: Laporan PBB Ungkap Cara Keji Junta Militer Myanmar, Culik Bayi agar Warga Serahkan Diri
Pada Mei, Hin Lian Piang menyaksikan tentara menyiksa dua tahanan sampai mati di pusat interogasi puncak gunung di dalam pangkalan militer di negara bagian Chin.
Para tentara memukuli kedua pria itu, memukul mereka dengan senjata mereka, dan menendang mereka, katanya.
Setelah orang-orang itu dimasukkan ke penjara, salah satu dari mereka meninggal.
Mayor yang bertanggung jawab meminta dokter militer untuk memeriksa pria itu dan menentukan penyebab kematiannya. Sementara itu, tahanan lainnya mulai gemetar dan kemudian meninggal juga.
Tentara memasang selang infus pada mayat para tahanan, kemudian mengirim mereka ke rumah sakit militer di Kalay.
“Mereka memaksa dokter militer Kalay untuk menulis dalam laporan biopsi bahwa mereka meninggal karena masalah kesehatan mereka sendiri,” kata Hin Lian Piang. “Kemudian mereka langsung mengkremasi mayat-mayat itu.”
Hin Lian Piang mengatakan perintah langsung untuk menutupi penyebab kematian para pria itu datang dari Komandan Operasi Taktis Kolonel Saw Tun dan Wakil Komandan Wilayah, Brigadir Jenderal Myo Htut Hlaing, dua pejabat militer berpangkat tinggi yang ditempatkan di negara bagian Chin.
AP mengirim pertanyaan tentang kasus ini ke Tatmadaw tetapi tidak dijawab.
Meskipun Tatmadaw terbuka tentang banyak kebrutalannya sejak kudeta militer, seperti membunuh orang di siang hari bolong dan merilis foto di TV pemerintah dengan wajah para tahanan yang bonyok, junta militer menggunakan teknik penyiksaan yang dimodifikasi dan pernyataan palsu untuk menyembunyikan bukti pelanggaran luas lainnya.
Beberapa tahanan mengatakan interogator mereka hanya melakukan kekerasan pada bagian tubuh mereka yang dapat disembunyikan oleh pakaian, yang oleh Hin Lian Piang disebut sebagai strategi umum.
Seorang tahanan ditampar telinganya berulang kali, dimana itu tidak meninggalkan bekas luka tetapi menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
Baca Juga: Konvoi Junta Militer Myanmar Diserang Bom Rakitan Disusul Baku Tembak, Beberapa Orang Tewas
Yang lain, Min, mengatakan interogatornya meletakkan bantalan karet di dada dan punggungnya sebelum memukulinya dengan tongkat, meminimalkan memar.
"Mereka hanya akan memastikan untuk memukul Anda sehingga hanya bagian dalam Anda yang rusak, atau akan memukul Anda dengan keras di punggung, dada dan paha, di mana memar tidak terlihat (karena akan tertutup pakaian)," kata Min.
Penggunaan bantalan karet tampaknya menjadi contoh klasik dari "penyiksaan sembunyi-sembunyi", yang tidak meninggalkan bekas fisik, kata Andrew Jefferson, seorang peneliti penjara Myanmar di DIGNITY, theDanishInstitute Against Torture.
“Tampaknya ini menunjukkan bahwa para penyiksa sebenarnya peduli untuk tidak ketahuan,” kata Jefferson. “Begitu sedikit yang pernah dihukum (karena menyiksa) sehingga saya tidak benar-benar mengerti mengapa mereka peduli.”
Militer mungkin mencoba untuk mencegah laporan publik tentang pelanggarannya, kata Matthew Smith, salah satu pendiri kelompok hak asasi manusia Fortify Rights.
“Ini adalah teknik yang sudah sangat lama digunakan sistem kediktatoran,” katanya.
“Apa yang saya percaya pihak berwenang coba lakukan adalah setidaknya menyuntikkan keraguan ke dalam tuduhan yang mungkin dilancarkan penyintas atau kelompok hak asasi manusia atau jurnalis atau pemerintah.”
Baca Juga: Dipenjara di Myanmar, Jurnalis AS Khawatir Terpapar Covid-19
Seorang tahanan, Kyaw, mengatakan dia disiksa selama berhari-hari dan dibebaskan hanya setelah menandatangani pernyataan bahwa dia tidak pernah disiksa sama sekali.
Neraka Kyaw dimulai ketika militer mengepung rumahnya dan menahannya untuk kedua kalinya sejak Februari karena kegiatan pro-demokrasinya.
Saat tentara memukulinya dan menyeretnya pergi bersama lima temannya, ibunya sampain mengompol dan pingsan.
Ayahnya yang biasanya tabah saat itu menangis. Kyaw tahu apa yang dia pikirkan: “Ini dia anakku. Dia akan mati.”
Sepanjang perjalanan ke pusat interogasi di Yangon, tentara memerintahkan mereka untuk menundukkan kepala dan memukuli mereka dengan senjata. Ketika teman Kyaw yang berusia 16 tahun menjadi pusing (karena terus menundud) sehingga mengangkat dagunya, seorang tentara memukul kepalanya dengan senapan hingga berdarah.
Di pusat interogasi, tentara memborgol mereka, merantai mereka dan meletakkan tas di atas kepala, dan memukuli mereka.
Keesokan paginya, tidak ada tahanan yang bisa membuka mulut mereka yang bengkak untuk makan nasi. Itu adalah satu-satunya makanan yang akan diterima Kyaww selama empat hari. Dia minum dari air toilet.
Interogasinya dimulai sekitar pukul 11 pagi dan berlangsung hingga pukul 2 atau 3 pagi.
Para tentara menusuk paha tahanan dengan pisau, dan menyetrumnya dengan taser. Mereka menggulung batang besi ke atas dan ke bawah kakinya.
Mereka mengetahui bahwa dia tidak bisa berenang dan sengaja diceburkan ke dalam danau setlah sebelumnya menendangnya hingga pingsan, kepalanya dibungkus tas besar dan tangannya borgol ke belakang. Dia meronta-ronta dan memukul-mukul namun tenggelam semakin dalam. Mereka akhirnya menariknya keluar.
Pertanyaan tentara junta militer bersifat monoton. "Siapa kamu dan apa yang kamu lakukan?"
"Aku benar-benar tidak melakukan apa-apa," jawab tahanan tersebut. "Saya tidak tahu apa apa."
100 tahanan lainnya tiba di pusat itu sementara dia ada di sana, saat mereka datang, beberapa wajah tahanan begitu rusak karena pemukulan sehingga mereka tidak lagi terlihat seperti manusia.
Beberapa tidak bisa berjalan. Seorang tahanan mengatakan kepada Kyaw bahwa tentara telah memperkosa putrinya dan saudara iparnya di depan matanya.
Pada hari keempat, keluarga Kyaw meminta seorang teman dengan koneksi militer untuk campur tangan, dan penyiksaan berhenti. Tapi dia masih ditahan selama tiga minggu sampai pembengkakan di wajahnya berkurang, sebelum dilepas.
Kyaw akhirnya dibebaskan setelah dia membayar menyuap militer sebanyak seribu dolar AS.
Para pejabat kemudian menyuruhnya menandatangani pernyataan yang mengatakan bahwa militer tidak pernah meminta uang atau menyiksa siapa pun.
Pernyataan itu juga memperingatkan jika dia kembali melawan junta, dia bisa dipenjara hingga 40 tahun.
Kyaw tidak tahu apakah teman-temannya masih hidup. Namun bertentangan dengan permintaan ibunya, dia bersumpah untuk melanjutkan aktivismenya.
“Saya memberi tahu ibu saya bahwa demokrasi adalah sesuatu yang harus kita perjuangkan,” katanya. "Itu tidak akan datang ke depan pintu kita dengan sendirinya."
Baca Juga: Kembali Memanas, Militer Myanmar Serang Desa dan Sebabkan 25 Orang Tewas
Pada kesaksian lain, para tentara memaksa perempuan muda berusia 16 tahun berlutut, lalu memerintahkannya untuk melepas masker yang dimaksudkan untuk melindunginya dari Covid-19.
“Kamu tidak takut mati, itulah mengapa kamu ada di sini,” seorang tentara mencibir. “Jangan berpura-pura takut dengan virus.”
Dari tahanan yang diwawancarai oleh AP, selusin adalah perempuan dan anak-anak, yang sebagian besar mengalami pelecehan. Sementara laki-laki menghadapi penyiksaan fisik yang lebih parah, perempuan lebih sering disiksa secara psikologis, terutama dengan ancaman pemerkosaan.
Su yang berusia enam belas tahun ingat berlutut dengan tangan di udara saat seorang prajurit memperingatkan, "Bersiaplah untuk giliranmu." Dia ingat berjalan di antara dua barisan tentara saat mereka mengejek, "Simpan kekuatanmu untuk besok."
Su merasa sia-sia membujuk tentara untuk membantu salah satu sesama tahanan, seorang perempuan muda yang bahkan lebih muda darinya, yang kakinya patah saat dia ditangkap. Para prajurit menolak untuk mengizinkan perempuan muda itu menelepon keluarganya.
Perempuan muda lain, berusia sekitar 13 tahun, menangis terus-menerus dan pingsan setidaknya enam kali sehari saat mereka ditangkap. Alih-alih memanggil dokter, petugas menyemprot anak itu dengan air.
Petugas penjara memperingatkan Sunever untuk berbicara tentang apa yang terjadi di dalam kepada orang-orang di luar. "Mereka berkata, 'Kami benar-benar baik padamu. Beri tahu orang-orang hal-hal baik tentang kami,'” Su kemudian menjawab, “Hal-hal baik apa?”
Su tidak pernah tinggal terpisah dari orang tuanya sebelumnya. Sekarang dia bahkan dilarang menelepon mereka, dan tidak tahu bahwa kedua kakeknya telah meninggal.
“Begitu saya dibebaskan, saya harus minum obat tidur selama hampir tiga bulan,” kata Susays. “Aku menangis setiap hari.”
Di dalam pusat interogasi ShwePyiThar di Yangon, para perempuan menjadi takut pada malam hari, ketika para tentara mabuk dan datang ke sel mereka.
“Kalian semua tahu di mana kalian berada, kan?” kata para prajurit kepada mereka. “Kami bisa memperkosa dan membunuhmu di sini.”
Para perempuan punya alasan bagus untuk takut. Militer telah lama menggunakan pemerkosaan sebagai senjata perang, terutama di wilayah etnis.
Baca Juga: 30 Polisi dan Tentara Junta Militer Myanmar Membelot, Gabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil
Selama tindakan kerasnya terhadap populasi Muslim Rohingya di negara itu pada tahun 2017, militer secara metodis memperkosa sejumlah perempuan dan anak perempuan.
“Bahkan jika mereka tidak memperkosa kami secara fisik, saya merasa kami semua diperkosa secara verbal hampir setiap hari karena kami harus mendengarkan ancaman mereka setiap malam,” kata Cho, seorang aktivis yang ditahan bersama suaminya.
Perempuan muda lainnya mengingat empat bulannya di penjara Myanmar barat daya, dan ketakutan terus-menerus akan penyiksaan dan pemerkosaan.
"Saya dikurung di sel dan mereka bisa memanggil saya kapan saja," katanya.
Seorang guru, yang ditahan selama delapan hari di pusat interogasi, belajar untuk takut akan suara pintu sel.
“Pikiran kami menjadi liar, seperti: ‘Apakah mereka datang untuk membawa saya? Atau apakah mereka datang untuk membawa kawan saya?'” kata guru itu.
“Ketika kami melihat mereka menutup mata seseorang, kami sangat cemas karena itu bisa jadi saya.”
Tidak semua perempuan terhindar dari kekerasan. Teman satu sel Cho dipukuli begitu parah dengan tongkat bambu sehingga dia tidak bisa duduk atau tidur telentang selama lima hari.
Dan meskipun Cho tidak menjadi sasaran serangan fisik di ShwePyiThar, petugas di penjara Insein memukul bagian belakang lehernya dan memaksanya dalam posisi stres.
Ketika dia keberatan, mereka memukuli punggung dan bahunya, lalu membuangnya ke sel isolasi selama dua minggu.
Untuk perempuan lain, Myat, pemukulan dimulai saat tentara menyerbu ke rumahnya, menancapkan senjata mereka ke dadanya dan memasukkan senapan ke mulutnya. Ketika mereka menangkapnya dan teman-temannya, dia mendengar salah satu dari mereka berkata: “Tembak mereka jika mereka mencoba lari.” Dia menangis sambil menceritakan penderitaannya.
Seorang anak laki-laki berusia 17 tahun mengalami pemukulan selama berhari-hari, kulit di kepalanya terbelah karena kuatnya pukulan.
Saat seorang interogator meninjunya, seorang interogator lainnya menjahit luka di kepalanya dengan jarum jahit.
Mereka tidak memberinya obat penghilang rasa sakit, mengatakan kepadanya bahwa perawatan brutal adalah yang paling berharga baginya. Tubuhnya berlumuran darah.
Setelah tiga hari, katanya, mereka membawanya ke hutan dan membuangnya ke dalam lubang di tanah, menguburnya sampai ke lehernya. Kemudian mereka mengancam akan membunuhnya dengan sekop.
“Jika mereka mencoba menangkap saya lagi, saya tidak akan membiarkan mereka,” katanya. "Aku akan bunuh diri saja."
Kembali ke dalam balai kota pedesaan, pemuda itu merindukan ibunya saat malamnya berlalu dalam kabut rasa sakit. Keesokan paginya, dia dan temannya dikirim ke penjara.
Sel kecilnya adalah rumah bagi 33 orang. Setiap inci lantai ada yang punya, jadi dia berbaring di sebelah toilet jongkok satu-satunya.
Seorang narapidana dengan lembut membersihkan darah dari mata pemuda itu. Ketika dia melihat wajah temannya yang babak belur, dia mulai menangis.
Setelah dua hari, keluarganya membayar untuk mengeluarkannya dari penjara. Dia dan temannya dipaksa untuk menandatangani pernyataan yang mengatakan bahwa mereka telah berpartisipasi dalam demonstrasi dan sekarang akan mematuhi aturan militer.
Di rumah, ibunya melihatnya dan menangis. Selama sebulan kemudian, kaki dan tangannya terus-menerus bergetar.
Bahkan hari ini, bahu kanannya, yang diinjak oleh seorang tentara, tidak bisa digerakkan dengan benar.
“Setelah mereka menangkap kami, saya tahu hati dan pikiran mereka tidak seperti rakyat, tidak seperti kami,” katanya. "Mereka adalah monster."
Sumber : Kompas TV/Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.