BAGHDAD, KOMPAS.TV - Pemungutan suara telah ditutup di seluruh Irak pada Minggu malam, dalam pemilihan anggota parlemen yang dilaksanakan beberapa bulan lebih cepat dari jadwal semula.
Pemilu ini sebagai tanggapan atas pemberontakan rakyat melawan korupsi dan salah urus negara, seperti dilansir Associated Press, Minggu (10/10/2021).
Pemungutan suara ditandai dengan boikot banyak aktivis muda yang memadati jalan-jalan pada akhir 2019, dan berbagai laporan rendahnya jumlah pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara.
Puluhan ribu orang mengambil bagian dalam gelombang unjuk rasa yang disambut bengis oleh pasukan keamanan yang menembakkan peluru tajam dan gas air mata. Lebih dari 600 orang tewas dan ribuan terluka hanya dalam beberapa bulan.
Meskipun pihak berwenang menyerah dan menyatakan akan melakukan pemilihan umum lebih awal, jumlah korban tewas dan tindakan keras aparat keamanan, serta serangkaian pembunuhan yang ditargetkan, mendorong banyak orang yang mengambil bagian dalam protes untuk kemudian menyerukan boikot pemilihan umum.
Hasil awal penghitungan suara diharapkan muncul 48 jam ke depan, menurut badan independen yang mengawasi pemilihan umum Irak.
Baca Juga: Pemilu Parlemen di Irak segera Digelar, Pemimpin Kelompok Garis Keras Pro Iran Ikut Calonkan Diri
Perundingan untuk memilih perdana menteri yang bertugas membentuk pemerintahan diperkirakan akan berlarut-larut selama berbulan-bulan.
Pemungutan suara dimulai Minggu pagi dalam pemilihan umum keenam sejak jatuhnya Saddam Hussein usai invasi Amerika Serikat dan sekutu ke Irak tahun 2003 dan sistem politik pembagian kekuasaan berbasis sektarian yang dihasilkannya.
Sebanyak 3.449 kandidat bersaing sengit memperebutkan 329 kursi dalam pemilihan parlemen.
Sikap apatis meluas di tengah skeptisisme mendalam tentang peluang kandidat independen melawan partai dan politisi mapan, di mana banyak dari mereka didukung oleh milisi bersenjata yang kuat.
Kebanyakan orang Irak mendambakan perubahan, tetapi hanya sedikit yang optimistis perubahan itu bisa terjadi.
“Saya tidak ingin wajah dan partai yang sama ini kembali,” kata Amir Fadel, seorang dealer mobil berusia 22 tahun, setelah memberikan suaranya di distrik Karradah, Baghdad.
Lebih dari 250.000 personel keamanan di seluruh negeri ditugaskan untuk melindungi pemungutan suara.
Tentara, polisi dan pasukan anti-terorisme menyebar dan ditempatkan di luar tempat pemungutan suara, beberapa di antaranya dikelilingi oleh kawat berduri. Pemilih yang masuk ke tempat pemungutan suara diperiksa dan digeledah.
Presiden Irak Barham Salih dan Perdana Menteri Mustafa al-Kadhimi mendesak rakyat Irak untuk memilih dalam jumlah besar.
“Keluarlah dan memilihlah, ubah realitas Anda demi Irak dan masa depan Anda,” kata al-Kadhimi, mengulangi terus kalimat itu sampai tiga kali setelah memberikan suaranya di sebuah sekolah di Zona Hijau yang dijaga ketat di Baghdad, lokasi berbagai kedutaan asing dan kantor-kantor pemerintah.
Baca Juga: 13 Polisi Irak Tewas di Kirkuk dalam Serangan Tengah Malam, Tudingan Mengarah kepada Kelompok ISIS
Pada pemilu tahun 2018 hanya 44 persen dari pemilih yang memenuhi syarat bergerak dan memberikan suara mereka. Itu adalah rekor terendah, yang hasilnya pun dipersengketakan secara luas. Ada kekhawatiran jumlah pemilih yang memberikan suara bahkan lebih rendah dalam pemilu saat ini.
Menjelang tengah hari, jumlah pemilih masih relatif rendah sementara jalan-jalan sebagian besar tampak sepi. Di beberapa daerah, pengeras suara masjid digunakan untuk mendesak warga Irak agar memilih.
Di sebuah kedai teh di Karradah, salah satu dari sedikit yang buka, kandidat Reem Abdulhadi masuk untuk menanyakan apakah orang telah memberikan suara mereka.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.