NAYPYIDAW, KOMPAS.TV - Junta militer Myanmar dikabarkan kesulitan merekrut anggota baru, setelah hanya sedikit orang yang mendaftar untuk masuk ke akademi militer negara itu.
Kesulitan itu disinyalir karena kudeta yang dilakukan militer serta tindakan brutal terhadap demonstran anti-rezim.
Kurangnya rekrutmen anggota baru diyakini sebagai pukulan lebih lanjut bagi militer.
Pasalnya, lebih dari 1.500 personel memilih membelot dari tentara, termasuk seratus perwira, setelah junta militer melancarkan kudeta pada Februari lalu.
Baca Juga: Baru Melarikan Diri dari Afghanistan, Bocah 5 Tahun Malah Tewas Keracunan setelah Memakan Jamur Liar
Pihak junta militer pada Kamis (2/9/2021) mengumumkan melalui media yang mereka kontrol bahwa tenggat waktu untuk pendaftaran akademi militer telah diperpanjang untuk kedua kalinya.
Sebelumnya, tenggat waktu pendaftaran juga diperpanjang pada Agustus lalu karena pandemi Covid-19.
Menurut mantan kapten militer yang membelot, perpanjangan tersebut disebabkan karena hanya ada sekitar 100 pendaftar sejauh ini di ketiga akademi militer.
“Sebanyak 100 orang telah mendaftar ke akademi militer pada tahun ini. Kebanyakan kandidat berasal dari keluarga militer,” tutur Kapten Lin Htet Aung yang juga pendiri People’s Embrace seperti dikutip dari The Irrawaddy.
Baca Juga: Untuk Keperluan Kemanusiaan, AS Buka Kembali Akses Keuangan Afghanistan
People’s Embrace merupakan grup Facebook yang dibentuk untuk mendorong tentara meninggalkan unit mereka dan bergabung dengan perlawanan menghadapi rezim militer.
Sebelum kudeta, ketiga sekolah militer Myanmar yakni Akademi Pertahanan; Akademi Pertahanan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; serta Akademi Pertahanan Pelayanan Medis, setiap tahunnya biasa mendapat 12.000 pendaftaran.
Menurut Kapten Lin Htet Aung, hanya 10 persen kandidat yang biasanya diterima setiap tahun.
Ia mengungkapkan, penurunan tajam dari para pendaftar adalah konsekuensi dari kudeta.
Hal itu mengacu pada tindakan keras dan mematikan yang dilakukan militer terhadap rakyat Myanmar, serta penjarahan dan perusakan properti warga sipil.
Baca Juga: Positif Covid-19, Perempuan Malaysia Melahirkan Sendirian Tanpa Dokter di Rumah Sakit
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), hingga Kamis, sekitar 1.043 orang telah dibunuh oleh junta sejak kudeta.
“Dulu banyak pemuda yang ingin menjadi perwira militer dan pahlawan. Namun, kini tak ada yang ingin melakukannya karena kudeta,” Htet Aung.
Hal yang sama juga diungkapkan mantan Kapten Nyi Thuta, yang membelot pada Maret.
Ia mengatakan, di bawah rezim junta militer, masyarakat kini merasa bahwa mendaftar ke Akademi Pertahanan atau bergabung dengan militer merupakan aib.
Sumber : The Irrawaddy
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.