KABUL, KOMPAS.TV – Kembalinya Taliban menguasai Afghanistan setelah terusir invasi Amerika Serikat (AS) selama dua dekade, menimbulkan beragam pertanyaan. Termasuk tentang bagaimana kelompok milisi itu bisa dengan begitu cepat menguasai Afghanistan dan apakah rezim mereka yang terkenal kejam telah berubah.
Kebangkitan kembali Taliban di Afghanistan pula menghidupkan sejumlah mitos yang diyakini berbagai kalangan.
Disarikan dari The Washington Post, Jumat (27/8/2021), ini dia lima mitos tentang Taliban:
1) Pakistan mengendalikan Taliban
Taliban dianggap sebagai perpanjangan tangan Pakistan, hingga tagar #SanctionPakistan atau #HukumlahPakistan pun trending di media sosial sebagai respons dari pergerakan militer Taliban di Afghanistan. Presiden Afghanistan terguling Ashraf Ghani juga telah lama menyalahkan Pakistan atas kebangkitan kembali Taliban, demikian pula para analis Barat.
Benar bahwa Taliban tak dapat kembali bangkit sendiri setelah 2001 tanpa dukungan, perlindungan dan pendanaan dari badan intelijen utama Pakistan ISI, dan sejumlah aktor Pakistan lainnya.
Namun, ini sungguhlah hubungan yang rumit: Taliban amat sangat membenci upaya-upaya Pakistan untuk mempertahankan Taliban.
Pada Februari 2010, contohnya, ISI menangkap Abdul Ghani Baradar – waktu itu wakil pemimpin Taliban – setelah ia menegosiasikan kesepakatan damai dengan Presiden Afghanistan saat itu, Hamid Karzai, tanpa seizin Pakistan. Pembebasan Baradar diupayakan pada 2018 setelah utusan AS Zalmay Khalilzad turun tangan.
Baca Juga: Anggota Kongres AS Tuduh Pakistan Dukung Taliban, Miliki Peran Penting Kuasai Afghanistan
Banyak pihak di Taliban pula menyalahkan Pakistan atas kematian pemimpin kedua dalam kelompok itu, Akhtar Mohammad Mansour, dalam serangan drone AS pada 2016 di Provinsi Baluchistan, Pakistan.
Taliban berulang kali menolak tekanan Pakistan. Pakistan memang menghadapi permintaan dari AS dan Afghanistan untuk membawa Taliban ke meja perundingan.
Namun, upaya Pakistan mendorong kelompok milisi itu untuk berunding, terutama pada perundingan Murree di tahun 2015, menjadi bumerang saat banyak anggota senior Taliban menolak menghadirinya. Beberapa anggota Taliban bahkan meninggalkan Pakistan untuk menghindari pembalasan atas keputusan mereka.
Baru-baru ini, Taliban juga berupaya memperluas hubungan diplomatik dengan China, Rusia, Indonesia dan bahkan Iran, untuk mengurangi cengkeraman Pakistan.
2) Taliban terpecah belah dengan mudah
Benar bahwa Taliban bukanlah kelompok homogen. Para pemimpinnya harus mengakomodasi para komandan dan pasukan dengan kepentingan dan sudut pandang yang beragam, hingga terkesan longgar di tingkat lokal. Proses transisi dari berperang melawan pemberontak hingga memerintah negara, kian mempertajam kesalahan-kesalahan Taliban.
Tapi, Taliban telah menunjukkan diri sebagai organisasi yang kompak dan disiplin. Taliban tetap menjaga garis komando yang jelas dan menghindari perpecahan signifikan atau pertikaian antar faksi.
Setelah krisis suksesi pasca kematian Mohammad Omar pada 2013, Taliban bahkan bangkit dengan lebih kuat. Taliban mengusir ISIS dari benteng-benteng mereka di timur Afghanistan, memerintahkan mereka untuk mematuhi beberapa gencatan senjata sementara dan pengurangan kekerasan.
3) Taliban punya rencana dalam memerintah Afghanistan
Kendati dilaporkan hendak mendirikan pemerintahan Emirat Islam Afghanistan, Taliban ternyata tak punya cetak biru atau master plan pasca kemenangannya menguasai Afghanistan. Lewat pernyataan publiknya, Taliban bahkan terkesan terkejut dan tak menyangka bakal menuai kemenangan kilat, hingga tak siap.
Sumber : The Washington Post
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.