KABUL, KOMPAS.TV - Kembali berkuasanya Taliban di Afghanistan diyakini bakal membuat perdagangan heroin di Eropa mengalami krisis.
Hal tersebut diungkapkan oleh Niko Vorobyov, mantan penjual narkoba yang kini menjadi penulis.
Juru Bicara Taliban Zabihullah Mujahid sebelumnya mengungkapkan kesedihan melihat kaum muda Afghanistan yang kecanduan narkoba.
Oleh sebab itu, mereka menegaskan bakal mengakhiri penanaman opium yang juga menjadi pendapatan bagi Afghanistan.
Baca Juga: Afghanistan Memanas Lagi, Pasukan Anti-Taliban Rebut Tiga Distrik di Utara
“Tak akan ada produksi narkoba, penyelundupan narkoba,” kata Zahibullah dikutip dari Daily Star.
“Hari ini kami melihat pemuda kami menggunakan narkoba di dekat dinding. Itu membuat saya sedih bahwa pemuda kami kecanduan. Afghanistan tak akan menjadi lokasi penanaman opium lagi,” tambahnya.
Pada kepemimpinan Taliban di Afghanistan pada awal 2000-an, lokasi penanaman opium berkurang dari 82.000 hektar menjadi hanya 8.000 hektar.
Namun, menurut Vorobyov dalam tulisannya di The Independent, hal itu membuat perdagangan heroin di seluruh Eropa akan mengalami kekisruhan.
Pasalnya, Afghanistan menjadi titik panas dalam bahan baku heroin sejak invasi Uni Sovyet pada 1979.
Negara itu menjadi tempat produksi lebih dari 80 persen heroin di seluruh dunia.
Vorobyov mengungkapkan, Taliban melarang penanaman opium dengan harapan meningkatkan citra mereka di mata dunia.
Namun, menurutnya, Afghanistan sangat membutuhkan pemasukan besar, sehingga keputusan Taliban itu akan menjadi bunuh diri secara ekonomi.
“Taliban harus berpikir panjang dan keras apakah mereka benar-benar ingin mengasingkan kaum miskin, petani pedesaan yang selama ini Taliban klaim bertindak atas nama mereka,” tulisnya.
Baca Juga: Jadi Buruan Taliban dan Ditolak Inggris, Penerjemah Afghanistan: Saya akan Dibunuh
Ia pun menambahkan bahwa larangan baru itu akan menciptakan “efek balon” di mana daerah lain akan berebut untuk mendapatkan pasar yang menguntungkan itu.
“Jika ladang opium hilang dari Afghanistan, pemakai masih membutuhkan obat mereka,” tulus Vorobyov.
“Sulit dikatakan dari mana mereka akan mendapatkannya, tetapi Myanmar (bekas pemimpin produksi heroin di 1980-an), telah menghadapi kudeta militer, sedangkan Lembah Bekaa, Lebanon memiliki keuntungan karena dekat dengan Eropa, dan sudah menjadi eksportir utama dari hash,” tambahnya.
Selain itu, kondisi ini membuat popularitas dari opioid buatan, fentanyl, yang berbahaya akan mendominasi pasar jika tak ada lagi pilihan.
Sumber : Daily Star
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.