BEIJING, KOMPAS.TV - Ketika Taliban mengambil alih Afghanistan pertama kali pada tahun 1996, China menolak untuk mengakui kekuasaan mereka dan membiarkan kedutaannya ditutup selama bertahun-tahun. Kali ini, Beijing adalah salah satu yang pertama merangkul Taliban.
Pergeseran luar biasa China terlihat agak luar biasa dua minggu lalu, ketika Menteri Luar Negeri Wang Yi menyambut delegasi Taliban yang dipimpin salah satu tokoh tertinggi Taliban yang juga pendiri, Mullah Abdul Ghani Baradar di pelabuhan utara Tianjin. Saat itu Taliban mulai berada di atas angin saat bertempur melawan pemerintahan Presiden Ashraf Ghani, yang melarikan diri dari negara itu pada hari Minggu (15/08/2021).
Dukungan Wang atas "peran penting" Taliban mengatur Afghanistan bagai angin surga legitimasi bagi Taliban. Sudah lama, Taliban menjadi kelompok buangan kelas dunia karena dukungannya terhadap terorisme dan penindasan terhadap perempuan.
Gerak cepat Taliban terhadap China mengejutkan Afghanistan. China bangkit sendiri sebagai kekuatan global.
China saat ini memiliki kekuatan ekonomi senilai 14,7 triliun dollar AS, lebih dari 17 kali ukurannya pada tahun 1996. Arsenal negara ini berupa inisiatif perdagangan dan infrastruktur besar-besaran yang membentang di seluruh daratan Eurasia, sebagaimana dilansir Bloomberg, Selasa, (17/08/2021).
Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing memperlihatkan kekhawatiran tentang ekstremisme Islam di antara minoritas Uighurnya yang semakin dalam. Bahkan China menerapkan kebijakan keamanan yang keras di wilayah yang berdekatan dengan Afghanistan itu.
Namun persaingan yang semakin ketat dengan Amerika Serikat mendorong Presiden China Xi Jinping untuk mengambil setiap kesempatan melawan dominasi Washington, dan mendorong pasukan Amerika menjauh dari perbatasannya.
Baca Juga: Masa Depan Ekonomi Afghanistan di Bawah Taliban, Prediksi Investasi China hingga Negara Narkoba
Kepentingan-kepentingan itu membuat China terlihat seperti kekuatan besar yang datang dengan sederet kepentingan dalam menertibkan Afghanistan. Pada saat yang sama Taliban bersiap mendeklarasikan Imarah Islam di Kabul.
China kini akan dipaksa menghindari kesalahan yang sama setelah Uni Soviet dan sekarang AS dianggap gagal.
"Dua puluh tahun lalu, China bukan kekuatan global dan apa yang terjadi di Afghanistan tidak mengganggu China," kata Yun Sun, direktur Program China di Stimson Center yang berbasis di Washington.
"Tapi hari ini, ada begitu banyak faktor baru - ada masalah Uighur, ada kepentingan ekonomi dan persepsi diri China sebagai kekuatan global."
China berusaha untuk menggambarkan dirinya sebagai lebih pragmatis dan tidak bergaya intervensionis seperti negarai Barat saat mendesak perdamaian yang dinegosiasikan.
"China berharap Taliban Afghanistan dapat bersatu dengan partai politik lain dan dengan semua kelompok etnis serta membangun kerangka politik yang inklusif secara luas sesuai dengan kondisi nasional dan meletakkan dasar bagi perdamaian abadi," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Hua Chunying kepada wartawan, Senin. di Beijing.
Namun, Hua yang tidak membuat pernyataan yang mendukung kekuasaan Taliban, hanya mengatakan bahwa situasi di Afghanistan telah "mengalami perubahan besar".
Sumber : Kompas TV/Straits Times/Bloomberg
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.