WASHINGTON, KOMPAS.TV- Melonjaknya kekerasan anti-Asia di Amerika Serikat (AS) telah mendorong orang-orang di Asia untuk mempertimbangkan kembali rencana belajar di universitas-universitas AS. Mereka mempertanyakan posisi AS sebagai panutan dunia, menurut laporan USA Today, Rabu (21/04/2021).
Sejak awal pandemi Covid-19, warga AS yang mengkambinghitamkan China sebagai sumber Covid-19 telah melontarkan hinaan rasial kepada warga Asia, termasuk lansia. Bahkan di beberapa kasus juga terjadi serangan kekerasan mematikan.
Pada 16 Maret 2021 lalu, misalnya, enam dari delapan orang yang tewas dalam penembakan massal di sejumlah spa di wilayah Atlanta adalah wanita Asia.
Lalu 15 April 2021, banyak korban penembakan di fasilitas FedEx di Indianapolis merupakan penganut Sikh, sebuah agama yang berasal dari India.
Para warga Asia mengatakan, ragam kekerasan itu kian menodai predikat AS sebagai masyarakat yang toleran secara rasial.
Baca Juga: Sentimen Anti Asia Meningkat, WNI di AS Diminta Waspada
"Korban jiwa (dari) kekerasan berbasis ras baru-baru ini telah menyanggah kepercayaan yang sebelumnya dipegang oleh kalangan orang Korea Selatan, bahwa Amerika adalah model untuk pemerintahan yang baik untuk masyarakat multikultural," kata Leif-Eric Easley, profesor studi internasional di Universitas Ewha di Seoul kepada USA TODAY.
Warga negara Jepang, Akiko Horiba (43), menyebut warga AS bersikap "baik" selama dia menempuh studi pascasarjana di Boston dari 2001 hingga 2003, namun kini dia tidak yakin apakah akan datang jika punya kesempatan lagi.
"Saya akan sedikit takut mengunjungi Amerika karena saya seorang wanita dan saya melihat video seseorang memukuli wanita Asia, saya tidak terlalu merekomendasikannya kepada generasi muda," kata Horiba, yang bekerja di Tokyo, kepada surat kabar tersebut.
Stop AAPI Hate, sebuah organisasi yang melacak insiden kekerasan terhadap warga AS keturunan Asia dan Kepulauan Pasifik, menerima lebih dari 2.808 laporan langsung kebencian anti-Asia dari Maret hingga akhir 2020 .
Sementara dalam dua bulan pertama 2021, kelompok advokasi yang berbasis di California itu telah melacak 987 insiden.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.