Perebutan kekuasaan oleh tentara menghentikan langkah negara Asia Tenggara itu menuju demokrasi yang dimulai ketika partai Suu Kyi memerintah pada tahun 2016 untuk masa jabatan pertamanya, setelah lebih dari lima dekade pemerintahan militer.
Sekitar pukul 4 pagi hari Jumat, orang-orang tak dikenal melemparkan bom ke markas partai Liga Nasional untuk Demokrasi Suu Kyi di Yangon, tetapi penduduk di dekatnya berhasil memadamkan api sebelum menyebabkan kerusakan besar.
Gerakan melawan junta dan pengambilalihannya mendapat dorongan besar pada Kamis ketika Amerika Serikat dan Inggris mengumumkan sanksi keras terhadap dua konglomerat milik militer dengan kepemilikan besar di banyak sektor.
Departemen Keuangan AS mengatakan tindakannya terhadap Myanmar Economic Holdings Public Company Limited dan Myanmar Economic Corporation Limited menargetkan kendali tentara atas sebagian besar ekonomi negara, "yang merupakan jalur keuangan vital bagi junta militer".
Baca Juga: Han Lay, Miss Myanmar yang Suarakan Perjuangan Rakyat Myanmar di Kontes Kecantikan Dunia
Sanksi terhadap kedua perusahaan dan kepemilikan itu memblokir akses ke properti apapun yang mereka kendalikan di Amerika Serikat, dan secara efektif melarang orang atau perusahaan AS melakukan bisnis apa pun dengan mereka, termasuk memasok dana atau menyediakan barang atau jasa kepada mereka.
Gerakan Pembangkangan Sipil yang tumbuh di dalam negeri Myanmar melawan kekuasaan militer berupaya menciptakan tekanan ekonomi untuk mempersulit junta memerintah.
Gerakan ini menganjurkan pemogokan pekerja perusahaan negara, penutupan bank dan penarikan investasi oleh perusahaan asing.
Ekonomi Myanmar terpukul oleh pandemi Covid-19, yang melonjak di sana pada paruh kedua tahun lalu.
Bank Dunia, dalam review seluruh Asia yang dirilis hari Jumat, memperkirakan ekonomi Myanmar akan berkontraksi sebesar 10% pada tahun 2021 setelah tumbuh sedikit 1,7% pada tahun 2020 dan 6,8% pada tahun 2019.
Baca Juga: Uni Eropa Jatuhkan Sanksi Keras Pada 11 Pejabat Myanmar yang Lakukan Kudeta
Gerakan Pembangkangan Sipil, atau CDM, yang sebagian besar didirikan oleh pekerja medis, telah menuai pujian atas strateginya, termasuk nominasi Hadiah Nobel Perdamaian 2022 oleh enam profesor ilmu sosial di Universitas Oslo di Norwegia.
"Pencalonan kami adalah pengakuan terhadap perlawanan antikudeta yang bekerja untuk perdamaian dan demokrasi melalui cara-cara tanpa kekerasan," kata surat pencalonan mereka.
Berbicara mewakili keenamnya, Profesor Kristian Stokke mengatakan kepada The Associated Press tentang harapan mereka, "Nominasi Hadiah Perdamaian akan menghasilkan pengakuan dan dukungan internasional lebih lanjut untuk gerakan tersebut serta tujuan dan sarana damainya."
Baca Juga: Brutalitas Junta Militer di Myanmar Terus Berlanjut, Anak 7 Tahun Ditembak Mati
Seorang anggota utama CDM, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena khawatir akan keselamatannya, mengatakan pencalonan itu untuk menegaskan kembali perlunya junta menahan diri dari segala jenis kekerasan, dan secara damai segera mentransfer kekuasaan ke pemimpin bangsa yang terpilih secara demokratis.
Suu Kyi memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1991 karena memimpin perjuangan tanpa kekerasan melawan kediktatoran militer sebelumnya.
Yanghee Lee, mantan pakar independen PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, memuji pencalonan CDM dengan tweet yang berbunyi, “Benar-benar fantastis. Sangat tepat. Benar-benar layak."
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.