WASHINGTON, KOMPAS.TV - Amerika Serikat (AS) pada Kamis (25/3/2021) memberlakukan sanksi paling signifikan setelah terjadinya kudeta di Myanmar. AS membatasi hubungan dengan dua perusahaan militer raksasa Myanmar, yang mendominasi sebagian besar ekonomi di negara tersebut.
Sanksi tersebut adalah yang terbaru yang diberikan oleh pemerintahan Biden dan pemerintah Eropa terhadap Myanmar sejak 1 Februari lalu. Sejak saat itu, pasukan keamanan telah membunuh dan menahan pengunjuk rasa yang turun ke jalan.
“Sanksi hari Kamis menargetkan pada mereka yang memimpin kudeta, kepentingan ekonomi kalangan militer dan aliran dana yang mendukung penindasan militer yang brutal di Burma," kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken seperti dikutip dari the Associated Press.
Baca Juga: Junta Myanmar Bebaskan Ratusan Demonstran Anti-Kudeta
Langkah-langkah baru tersebut melarang transaksi Amerika dengan dua perusahaan induk militer, yang memiliki keterlibatan bisnis besar dalam perdagangan. Perdagangan yang dilakukan militer Myanmar ini mulai dari penjualan alkohol dan rokok hingga pertanian, perbankan, dan pertambangan. Perusahaan kemudian membagikan keuntungan kepada militer Myanmar dan anggotanya.
Kelompok hak asasi manusia menyambut baik kebijakan AS yang baru ini.
“Sanksi yang diberlakukan AS tersebut dapat melarang bank untuk menggunakan mata uang dollar AS dalam transaksi dengan dua perusahaan induk militer,” kata Phil Robertson, seorang pejabat Asia Tenggara untuk Human Rights Watch.
Baca Juga: Brutalitas Junta Militer di Myanmar Terus Berlanjut, Anak 7 Tahun Ditembak Mati
"Sanksi bertarget itu berarti sesuatu!" ujar Robertson dalam cuitannya di Twitter.
Selain AS, Inggris juga mengambil tindakan serupa terhadap salah satu perusahaan raksasa militer Myanmar.
Pemerintahan Biden mengatakan pihaknya menargetkan militer dalam sanksi tersebut dan berusaha menghindari warga sipil negara itu untuk terkena dampaknya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.