YANGON, KOMPAS.TV - Protes dan pembangkangan sipil menentang kudeta militer oleh masyarakat sipil Myanmar terus berjalan, meski menghadapi kekerasan aparat.
Tanpa menggunakan senjata, warga Myanmar menggunakan berbagai cara untuk bertahan.
Sebelum kudeta militer 1 Februari, jalanan di Kota Okkalapa Utara, Yangon, Myanmar selalu ramai.
Sepanjang siang dan malam, berbagai kendaraan mulai truk kontainer, bus, motor dan pejalan kaki lalu lalang.
Ketika pembangkangan sipil mulai menyebar ke seluruh Myanmar, tak ada lagi kendaraan yang melintas di jalanan kota itu.
Warga menempatkan karung pasir, tempat sampah, pecahan batu bata, tumpukan ban dan pipa panjang dengan diameter lebih dari satu meter untuk menghalangi jalan.
Baca Juga: Para Perempuan Pemberani di Demo Myanmar: Tak Peduli Nyawa, Kami Peduli pada Generasi Mendatang
Berbagai barang itu berguna untuk memperlambat gerak maju polisi dan tentara yang berusaha menghentikan demonstrasi warga.
Selain itu, warga Myanmar juga punya taktik terbaru yakni menggantung sarung perempuan bernama htamein di jalan-jalan kota.
Mereka membuat jemuran sendiri dengan tali yang terikat ke pohon atau tiang listrik di pinggir jalan.
Sarung-sarung beraneka warna itu tergantung di atas jalan-jalan kota.
Bahkan, terkadang warga juga menggantung pembalut bersama sarung-sarung tersebutt
Jemuran ini bukan sekedar hiasan. Ini adalah cara warga Myanmar menghambat pergerakan aparat.
“Tentara dan polisi bisa melewati penghalang. Tapi ketika htamein digantung di atas kepala mereka, mereka tidak berani masuk,” kata Ko Zaw Naing Myo, warga yang ikut dalam demonstrasi menentang militer, dikutip dari frontiermyanmar.net.
Para tentara ini enggan berjalan di bawah htamein dan pembalut karena kepercayaan misoginis yang banyak diyakini orang Myanmar.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.